Sabtu, 28 Juni 2008

Fukuyama, Neokons dan Keonaran

Mengapa ketiga sebutan itu dijejerkan sebagai judul Resonansi hari ini? Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang menjadi inti dari apa yang akan saya sampaikan kepada para pembaca budiman.
Kalimat terakhir dalam Resonansi saya 8 Juni 2004, berbunyi: ''Tidak saja rakyat Amerika yang ditipu Bush, tetapi juga seluruh dunia telah tertipu. Inilah peradaban (atau lebih tepat: kebiadaban) modern di bawah pimpinan Gedung Putih yang melalukan intervensi terhadap negara lain atas dasar penipuan publik.
Berkat tipuan itu, kebiadaban dan keonaran seolah telah mendapat pembenaran di kalangan sebagian publik sehingga Bush terpilih lagi menjadi presiden Amerika untuk kedua kalinya tahun 2004. Sekarang setelah borok kebohongan itu semakin terungkap, George W Bush yang baru saja disebut sebagai vazal Ehud Olmert oleh Uri Avnery, bekas anggota parlemen Israel, aktivis perdamaian, dan anti-zionisme, telah semakin kehilangan aura untuk berbicara apa pun tentang politik luar negerinya yang imperialistik.
Bush adalah hero kaum neokons (neokonservatif) yang mendorongnya untuk menyerbu Irak yang ternyata kemudian hanya menebarkan penderitaan dan keonaran. Bagaimana dengan Francis Fukuyama?
Penulis berpengaruh ini adalah warga Amerika kelahiran Chicago tahun 1952 dari pasangan suami-istri warga Jepang. Ayahnya pernah belajar sosiologi agama pada Universitas Chicago. Fukuyama mendapatkan PhD dari Universitas Harvard. Di kampus ini ia pernah berkenalan dengan Benazir Bhutto yang baru saja dibunuh.
Salah seorang otak neokons, Paul Wolfowitz, mantan dubes Amerika di Jakarta, adalah mentor dan sahabat Fukuyama selama puluhan tahun. Tetapi, invasi Amerika atas Irak yang ditentangnya telah membuyarkan kongsi mereka, dan Fukuyama menjadi 'murtad' dari ideologi neokons sejak 2004 pada saat ia mendukung John Kerry dari Partai Demokrat yang dikalahkan Bush.
Fukuyama adalah filosof sosial-politik papan atas yang semula dipuja oleh kelompok neokons. Setelah ia memisahkan diri, berbagai tuduhan ditudingkan kepadanya, antara lain sebagai antisemitisme. Pada saat Fukuyama masih berada di lingkungan neokons, karyanya yang kontroversial The End of History and the Last Man (1992) dikritik filosof politik Inggris John Gray sebagai karya seorang filosof istana kapitalisme global.
Dalam karya ini Fukuyama tampil sebagai pembela utama kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai puncak tertinggi sejarah. Tetapi, sebenarnya dengan mengambil posisi seperti itu ia telah membenamkan diri dalam lingkaran setan fanatisme buta.
Sejarah seakan-akan telah berhenti berproses, tidak ada lagi yang lebih unggul dari kapitalisme dan demokrasi liberal yang di bawah rezim Bush telah merusak sendi-sendi peradaban yang semula begitu diagungkan oleh kaum neokons yang asli. Akibatnya, kaum neokons sekarang telah kehabisan poin untuk ditawarkan kepada publik, gara-gara politik luar negeri Bush yang sangat hitam.
Perlu disisipkan di sini bahwa ada pula kelompok penginjil fanatik sebagai pendukung Bush yang begitu akrab dengan zionisme Israel. Bagi kaum Kristen penginjil ini, untuk mengutip Martin Kramer, The American Interest dalam Azure (Ideas for the Jewish Nation online, No 26, Tahun 2006): ''Israel is, for them, the manifestation of a divine plan, and they support it as a matter of faith.''
Israel bagi mereka adalah perwujudan rencana ketuhanan dan mereka menyokongnya sebagai masalah iman. Maka tidaklah mengherankan benar mengapa Bush di mata Avnery tidak lebih dari seorang vazal Olmert, saking lemahnya berhadapan dengan titah pemimpin zionis Israel itu.
Ada lagi pendapat Fukuyama yang merupakan pukulan telak terhadap doktrin politik kontemporer neokons, yaitu bahwa Islamic terrorism is not an existential threat to the United States and that political Islam has demonstrated itself to be a failure everywhere it has taken power, and that the Islamic terrorist movement had been largely a failure prior to 9-11. Those attacks, as well as the Iraq war, gave it a new lease on life, seperti dikutip oleh Robert S Boynton dalam The American Prospect Online (18 September 2005).
Pendeknya tragedi 9-11 dan invasi atas Irak telah memberikan napas hidup lebih lama kepada gerakan radikal ini. Tetapi tragedi ini pula yang melambungkan nama Bush untuk terpilih kali yang kedua, kemudian menjadi semakin rontok dan rontok karena peluang berkuasa itu tidak digunakannya untuk mengembangkan a culture of global wisdom (kultur kearifan global), sebagaimana yang pernah saya sampaikan langsung kepadanya saat pertemuan di Bali pada 22 Oktober 2003. Daripada membangun peradaban, kaum neokons justru membangun imperium kebiadaban di muka bumi dengan cara yang sangat congkak.
_____________
Republika, 29 Januari 2008

Tidak ada komentar: