Sabtu, 28 Juni 2008

Penerapan Hukum Perang Internal Di Aceh

Koran Tempo, August 7, 2003
Lebih dari dua bulan sejak diterapkannya operasi militer di Aceh, jumlah korban sipil di Aceh terus meningkat dari hari ke hari. Dalam melaksanakan mandat yang diberikan kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk mengidentifikasi dan menangkap anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), oknum-oknum TNI dilaporkan melakukan berbagai penggerebekan secara brutal, penyiksaan, dan dalam beberapa kasus, perkosaan, penembakan, baik disengaja maupun tidak, dan pemerasan terhadap rakyat Aceh. Di sisi lain, pihak GAM, dalam rangka mempertahankan diri, melakukan pembakaran gedung-gedung sekolah, pemerasan, pengeboman fasilitas-fasilitas publik, penyerangan secara brutal terhadap bus dan truk pengangkut bahan pangan, yang sangat mengancam keamanan rakyat sipil di Aceh.
Apakah hukum internasional dapat diterapkan di Aceh sehingga jumlah korban sipil yang menderita akibat kekerasan yang terjadi bisa berkurang? Artikel ini berusaha menunjukkan bahwa mau tidak mau, TNI dan GAM secara langsung merupakan subyek hukum internasional dan merupakan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi.
Hukum pertama mengenai konflik internal yang berada pada tingkat internasional adalah Common Article 3 (Artikel 3). Artikel ini sesungguhnya memuat semua prinsip yang terdapat dalam Konvensi Jenewa mengenai konflik antarnegara.
Dalam kasus konflik internal bersenjata, Artikel 3 ini--baca Lindsay Moir, The Law of Internal Armed Conflict, 2002--menekankan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam konflik terikat untuk menerapkan, secara minimum, aturan-aturan berikut ini.
Pertama, orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam konflik, termasuk tentara yang telah meletakkan senjata dan mereka yang ditempatkan sebagai hors de combat karena sakit, terluka, ditahan, atau karena hal-hal lain, harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, kelahiran atau kekayaan, atau kriteria lain yang sejenis.
Kedua, mereka yang terluka dan sakit harus dikumpulkan dan diperhatikan. Dengan mengacu pada aturan-aturan di atas, jelas bahwa baik TNI maupun GAM telah melanggar aturan-aturan tersebut. Strategi gerilya yang dijalankan angkatan bersenjata GAM dengan menggunakan rakyat sipil Aceh sebagai perisai serta melakukan serangan membabi buta, dan tindakan TNI ketika berusaha mengidentifikasi anggota GAM di antara masyarakat sipil, jelas tidak menghiraukan aturan-aturan tersebut.
Apakah kasus Aceh termasuk dalam kategori konflik internal bersenjata seperti yang dimaksud Artikel 3? Ada beberapa kriteria yang dapat dilihat sebagai acuan. Pertama, pihak yang memberontak terhadap pemerintahan yang sah memiliki kekuatan militer terorganisasi dan kekuasaan yang bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan. Pihak tersebut juga bertindak dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin pelaksanaan aturan-aturan di dalam konvensi.
Kedua, pemerintah yang sah berusaha menggunakan kekuatan militernya untuk melawan pemberontak secara militer dan sebagai bagian dari kepemilikan wilayah nasional. Ketiga, adanya pengakuan, secara implisit maupun eksplisit, bahwa pemberontak tersebut merupakan pihak yang bertikai. Keempat, pemberontak tersebut mempunyai organisasi yang bertujuan memiliki karakteristik-karakteristik negara, menerapkan kekuasaan de facto terhadap penduduk dalam wilayah tertentu dan setuju untuk terikat oleh aturan-aturan di bawah konvensi. Tindakan angkatan bersenjata berada di bawah arahan otoritas sipil yang terorganisasi dan berupaya memahami hukum perang.
Situasi di Aceh memenuhi semua kriteria yang disebutkan di atas. GAM memiliki kekuatan militer yang terorganisasi dan struktur politik seperti sebuah negara. GAM juga menerapkan kontrol di dalam wilayah tertentu. Kemudian, pemerintah Indonesia dalam rangka menghadapi GAM tersebut harus mengerahkan angkatan bersenjatanya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa operasi militer di Aceh memenuhi kriteria sebagai konflik internal bersenjata yang diatur oleh aturan-aturan dalam Artikel 3.
Masalahnya, siapa yang seharusnya menjadi subyek dari aturan hukum tersebut dan bagaimana menjamin penerapannya. Semua negara merupakan subyek dari hukum internasional yang mengatur sistem internasional dari negara-negara. Karena itu, negara merupakan subyek dan terikat oleh hukum internasional. TNI merupakan agen militer yang sah dari pemerintah Indonesia, yang memiliki tugas untuk menciptakan keamanan atas nama negara. Sebagai dampaknya, TNI merupakan subyek dari Artikel 3 sebagai bagian dari hukum konflik internal pada tingkat internasional.
Tetapi, bagaimana dengan GAM? Artikel 53 dari Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian menyatakan bahwa peremptory norm adalah norma yang diterima dan diakui komunitas internasional dari negara-negara secara keseluruhan yang tidak dapat diturunkan derajatnya dan hanya dapat dimodifikasi oleh norma hukum internasional umum yang dikeluarkan kemudian yang memiliki karakter yang sama.
Artikel 3 mewakili prinsip yang paling dasar dari hukum humaniter. Dengan pemahaman bahwa sebagian besar hukum humanitarian internasional juga merupakan peremptory norm dari hukum internasional, Artikel 3 ini mewakili prinsip jus cogens. Dengan kata lain, Artikel 3 dapat dipandang sebagai peremptory norm. Preemptory norm ini, sebagai bagian dari hukum internasional, juga mengikat individu, selain negara, termasuk kaum pemberontak. Implikasinya, disadari atau tidak, GAM juga merupakan subyek dari Artikel 3 ini.
Pada akhirnya, jelas bahwa TNI dan GAM seharusnya mematuhi aturan tentang perlindungan rakyat sipil selama terjadinya perang internal di Aceh. Hal paling sederhana yang dapat dilakukan terutama oleh pemerintah RI adalah mengizinkan masuknya Palang Merah Internasional dan badan-badan kemanusiaan lainnya untuk membantu penanganan korban sipil dan pengungsi di Aceh. Masalah kemanusiaan merupakan masalah universal dalam sistem internasional. Negara tidak dapat seterusnya berlindung di balik hukum domestik untuk menghindari tekanan internasional, karena bagaimanapun dalam sistem internasional saat ini, hampir tidak mungkin suatu negara dapat mengungkung diri dan tidak mengacuhkan sepenuhnya sorotan dari masyarakat internasional.
Lina A. AlexandraResearcher, Department of International Relations

Tidak ada komentar: