Sabtu, 28 Juni 2008

HAM dan Prinsip Kedaulatan

Koran Tempo, April 2, 2004
Konflik internal yang terjadi di Haiti mengundang kembali perhatian dunia tentang human security. Kelompok-kelompok propemerintahan Aristide dan geng-geng kriminal setempat melakukan serangkaian aksi penjarahan toko, bahkan rumah sakit, sedangkan kaum pemberontak terus melancarkan aksi bersenjata untuk menduduki ibu kota. Kondisi ini mendorong terjadinya arus pengungsi besar-besaran, baik rakyat Haiti maupun para diplomat asing keluar dari Haiti dalam rangka menyelamatkan diri. Krisis kemanusiaan ini telah memicu munculnya reaksi keras dari negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, Prancis, dan negara-negara Karibia. Pemerintah AS mendorong Presiden Aristide untuk turun dari jabatannya karena efektivitas pemerintahannya telah diragukan. AS dan Prancis akhirnya menurunkan sejumlah pasukan untuk menghentikan kekerasan bersenjata serta kerusuhan yang terjadi, di samping adanya tuntutan dari negara-negara Karibia terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengirimkan pasukan mutinasional. Terlepas dari kasus tersebut, mari kita lihat kondisi di dalam negeri. Pada 25 Februari 2004, Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan Laporan Tahunan tentang Praktek-praktek Hak Asasi Manusia yang memuat berbagai tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh hampir setiap negara di dunia. Dalam kasus Indonesia, laporan ini menyatakan secara umum belum ada perbaikan yang signifikan dalam penerapan HAM. Laporan ini menyoroti kekerasan yang terutama terjadi di daerah-daerah konflik, seperti Aceh, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua. Di Aceh, sejak dimulainya operasi militer, banyak sekali tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh oknum TNI maupun Gerakan Aceh Merdeka. Pelanggaran terhadap hukum humaniter yang dilakukan oleh kedua belah pihak menambah jumlah korban serta efek ketakutan besar terhadap kaum sipil. Oknum militer antara lain melakukan penculikan dan pembunuhan, pelecehan seksual, pemerasan, serta pembatasan ketat terhadap kegiatan organisasi nonpemerintah, dan peliputan pers. Di sisi lain, GAM melakukan aksi teror dengan pembakaran sekolah, penghancuran fasilitas-fasilitas umum, penyerangan bus, pemerasan, dan sebagainya. Dalam kondisi perang gerilya, pasukan TNI seringkali sulit membedakan antara sasaran sipil dan anggota GAM bersenjata yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah korban, antara lain dari pihak pers seperti tewasnya wartawan RCTI Ersa Siregar dalam suatu kontak senjata. Situasi di wilayah konflik lainnya seperti di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah yang carut-marut akibat konflik horizontal berangsur membaik, meski masih rawan terhadap pecahnya konflik terbuka. Para pengungsi dari konflik-konflik itu masih tersebar di berbagai wilayah dan berada dalam kondisi sangat memprihatinkan. Kondisi di Papua juga masih sangat rawan, terutama setelah insiden Timika yang menyebabkan tewasnya warga negara AS dan pemecahan Papua menjadi tiga provinsi yang tidak mendapat dukungan dari masyarakat Papua. Selain di wilayah konflik, kondisi HAM di Indonesia masih buruk berkaitan dengan semakin parahnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hukum tunduk pada kekuasaan politik dan uang. Oknum-oknum militer yang diadili hanyalah mereka yang melakukan kejahatan "kecil" dan bukan aktor utama atau inisiator kekerasan. Pola ini terlihat dalam berbagai kasus pengadilan, antara lain kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada 1999. Kebebasan pers dan mengemukakan pendapat masih sangat dibatasi. Kekerasan domestik terhadap perempuan dan anak-anak terjadi di mana-mana. Kekerasan dalam institusi pendidikan juga terjadi seperti dalam kasus tewasnya salah satu siswa STPDN. Ancaman terorisme masih menebarkan ketakutan yang besar di masyarakat karena belum semua pelaku diungkap dan ditangkap. Laporan tentang pelanggaran HAM ini harus menjadi perhatian karena tentunya akan digunakan sebagai referensi bagi pemerintah AS dan negara-negara lain untuk merumuskan kebijakan mereka terhadap Indonesia. Hingga saat ini AS masih enggan menarik embargo militernya, terutama penjualan senjata, lantaran masih buruknya penegakan HAM di Indonesia dan kurang seriusnya pemerintah Indonesia menangani masalah ini. Harus diakui, embargo ini jelas merugikan kapabilitas militer Indonesia. Tindakan ini juga dilakukan antara lain oleh parlemen Belanda yang menolak untuk menjual kapal jenis Corvet ke Indonesia karena adanya kekhawatiran bahwa kapal tersebut akan digunakan untuk operasi militer yang ada kemungkinan berpotensi melanggar HAM (Kompas, 20 Februari 2004). Mengapa kita tak dapat menggunakan peralatan militer yang dimiliki sesuai dengan keinginan kita? Justifikasi apa yang dimiliki AS dan negara-negara lain itu untuk melarang? Kita bisa saja mengatakan, negara-negara itu telah melanggar kedaulatan RI karena larangan tersebut. Tapi di sisi lain kita tidak dapat dengan mudah melakukannya. Disadari atau tidak, ada seperangkat aturan yang berlaku dalam sistem internasional yang menentukan sejauh mana prinsip kedaulatan itu memperoleh legitimasi. Secara umum, prinsip kedaulatan memiliki dua aspek: internal dan eksternal. Kedaulatan internal merupakan prinsip yang melegitimasi pengorganisasian politik dan kontrol internal yang menyangkut rakyat, wilayah, dan otoritas pemerintahan yang diakui. Kedaulatan internal merupakan wewenang atau hak untuk menerapkan kontrol. Kontrol ini diterapkan dengan adanya kesadaran dan legitimasi dari masyarakat. Kedaulatan eksternal adalah pengakuan yang diberikan oleh entitas lainnya (terutama negara) atas kewenangan suatu negara untuk mengatur urusan domestiknya. Hal ini menyangkut status suatu negara di dalam sistem internasional dan berkaitan dengan prinsip nonintervensi (Makinda, 1998). Prinsip kedaulatan itu dapat dijalankan selama norma yang menjadi basis legitimasinya diterapkan oleh negara tersebut. Jika negara melanggar norma itu, akan muncul reaksi dari negara-negara lain untuk menarik pengakuan terhadap kedaulatan internal tersebut. Basis legitimasi bagi kedaulatan ini berubah dari waktu ke waktu. Hampir setiap norma muncul setelah terjadinya perang besar. Sejak berakhirnya Perang Dunia I hingga masa Perang Dingin, norma nasionalis yang didasarkan atas integritas wilayah menjadi basis legitimasi bagi prinsip kedaulatan. Basis legitimasi itu merupakan penguatan dari basis legitimasi ketika prinsip kedaulatan itu muncul pada 1648. Inti dari prinsip kedaulatan itu adalah kedaulatan yang berpusat pada negara (state-centred sovereignty). Setelah Perang Dingin berakhir, AS sebagai superpower satu-satunya berusaha untuk memunculkan norma baru, yaitu demokratisasi dan HAM. Fokus kedaulatan beralih menjadi people centred sovereignty yang lebih menekankan pada sisi individu. Adanya ancaman terhadap basis legitimasi ini akan memberikan justifikasi bagi negara dan organisasi internasional--yang mendapat mandat dari komunitas internasional--untuk melakukan tindakan karena pemerintahan yang bersangkutan dianggap tak lagi memiliki kapasitas untuk menjamin pelaksanaan basis legitimasi bagi kedaulatannya. Walhasil, jika kita ingin kedaulatan bangsa ini dihormati oleh negara-negara lain, mau tidak mau, kita harus berusaha melakukan kewajiban untuk menerapkan HAM secara serius. Walau perlu diingat bahwa norma yang terbentuk itu merupakan hasil konstruksi ide dan kepentingan subyektif yang dimiliki oleh negara superpower, ada sisi positif yang harus lebih menjadi perhatian kita. Kewajiban menghormati hak-hak asasi manusia merupakan kewajiban yang mengiringi wewenang yang diberikan kepada negara dari rakyat sebagai pemberi legitimasi. Dengan demikian, kedaulatan bukan semata-mata hak, tapi juga kewajiban untuk melindungi dan menjamin kualitas hidup individu. Jika negara, khususnya pemerintah, tidak mampu melakukan hal ini, bukan mustahil ancaman kedaulatan justru muncul dari tidak adanya komitmen tersebut, bukan dari tindakan yang dilakukan oleh negara lain.

Tidak ada komentar: