Sabtu, 28 Juni 2008

Upaya Penyelesaian Konflik Etnis di Sri Lanka dengan Menggunakan Model Penyelesaian Damai di Aceh Ditinjau dari Hukum Penyelesaian Perselisihan Int

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai bentuk perselisihan atau sengketa seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, dari perselisihan antar individu, kelompok ataupun antar negara. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional bentuk perselisihannya berupa sengketa antar dua negara atau lebih yang bersifat eksternal, ada juga yang bersifat internal seperti konflik atau perang-perang lokal diantaranya yang telah berakhir tetapi ada juga yang belum selesai yang terjadi di Rwanda, Sudan, Irak, Filipina, Bosnia dan sebagainya. Banyak sengketanya seperti yang terjadi di Sri Lanka yaitu konflik sengketa antar etnis Sinhala dan Tamil.
1 Secara historis hubungan antara etnis Sinhala dan Tamil tidak pernah harmonis. Situasi ini telah berlangsung sejak pendudukan Inggris yaitu sejak awal abad 19 – pertengahan abad 20. Ketidakharmonisan tersebut utamanya dikaitkan dengan isu pembagian kekuasaan (sharing power) dalam pemerintahan. Hal tersebut berawal dengan adanya politik devide et impera yang pada saat itu diterapkan oleh Inggris dengan memberikan berbagai posisi strategis pemerintahan pusat dan daerah kepada Tamil yang merupakan suku minoritas[1], disamping itu karena intelektualnya, loyalitas dan keuletan dibanding suku Sinhala pada umumnya menyebabkan suku Tamil mendominasi jajaran birokrasi.
Keadaan tersebut tentunya menimbulkan kecemburuan dan kebencian suku Sinhala kepada suku Tamil sehinga kemudian dilakukan berbagai aksi pembalasan. Konflik Tamil-Sinhala langsung merebak segera setelah Inggris memerdekakan Ceylon pada 1948. Pasalnya, Inggris mengerahkan kekuasaan seluruh pulau itu kepada pemerintahan suku Sinhala, yang berpusat di Colombo, yang kemudian mengganti nama pulau itu menjadi Sri Lanka.[2]
Diantaranya pada saat pemerintahan baru dikuasai oleh suku Sinhala, mereka menerapkan perlakuan diskriminatif terhadap Tamil. Berbagai kebijakan di bidang pendidikan, kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak serta pemaksaan untuk menggunakan bahasa Sinhala sebagai satu-satunya bahasa nasional merupakan beberapa hal yang dianggap diskriminatif oleh rakyat Tamil. Kondisi tersebut diperparah pada saat Solomon Dias Bandaranaike pada tahun 1956 menjabat sebagai perdana menteri dan mengeluarkan sebuah keputusan “Sinhala Only Act”. Keputusan ini menetapkan bahasa resmi yang digunakan hanya bahasa Sinhala. Efek dari keputusan tersebut secara langsung mengesampingkan orang-orang Tamil. Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya menimbulkan pertentangan dari suku minoritas Tamil yang merasa diperlakukan secara diskriminatif.
Bagi suku Tamil, kemerdekaan dari Inggris hanya mengawali penjajahan baru yang dilakukan pemerintah Sinhala.[3] Sebagai bentuk dari rasa kekecewaan etnis Tamil, dibentuklah LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) yang didirikan oleh Vellupillai Prabhakaran pada tahun 1976 di Jaffna. LTTE merupakan organisasi pemuda etnis Tamil beraliran keras yang berjuang untuk memenuhi aspirasi etnis Tamil melalui kekuatan bersenjata guna mencapai Eelam/pemisahan diri dari Sri Lanka. LTTE mengklaim dirinya sebagai representasi rakyat Tamil dalam memperjuangkan eksistensi serta kemerdekaan Tamil atas wilayah yang secara historis merupakan wilayahnya yaitu di Northeast.
Konflik etnis memburuk menjadi perang saudara ketika Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) secara resmi mengangkat senjata setelah tragedi Black July pada tahun 1983, berupa kerusuhan rasial terbesar yang bermula dari diserangnya demonstrasi anti Tamil oleh LTTE yang mengakibatkan 16 orang tewas, yang segera dibalas oleh etnis Sinhala dengan membunuh lebih dari 3.000 orang Tamil.[4] Akibat dari konflik etnis antara suku Tamil dan Sinhala kemudian membuat pemerintah Sri Lanka mengerahkan pasukannya ke wilayah Tamil di bagian Utara dan Timur negara pulau tersebut, namun adanya pasukan pemerintah tidak mampu meredam konflik, sebaliknya keadaan justru semakin tak terkendali.
Sri Lanka yang berpenduduk 19 juta jiwa diantaranya, 69.3 persen beretnis Sinhala dimana semuanya menganut agama Buddha dan 15.5 persen penganut agama Hindu yang merupakan etnis Tamil.[5] Suku minoritas Tamil yang telah menetap di wilayah utara dan timur Sri Lanka selama lebih dari 2 ribu tahun pun menuntut persamaan hak, sosial, ekonomi, budaya dan bahasa sama halnya dengan etnis Sinhala.[6]
Adapun berbagai upaya perundingan telah dilakukan antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE untuk menyelesaikan konflik, namun selalu mengalami kegagalan. Upaya-upaya perundingan tersebut diantaranya, pertama pada masa pemerintahan Presiden J.R. Jayewardane di Thimpu, Bhutan bulan Juli 1985, kedua pada masa Presiden R. Premadasa di Colombo bulan Februari-Juni 1990, ketiga pada masa Presiden Chandrika Kumaratunga pada bulan Januari–Maret 1995,[7] kemudian juga perjanjian gencatan senjata pada tahun 2002 yang difasilitasi oleh Norwegia. Semua perundingan tersebut mengalami kegagalan karena sulitnya mencari kompromi antara dua pihak yang berseteru.
Konflik etnis antara suku Tamil dan Sinhala di Sri Lanka yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun dan menjadi perang saudara, menyebabkan lebih dari 65.000 jiwa meninggal dan lebih dari 800.000 orang kehilangan tempat tinggal.[8]
Di lain pihak, Pemerintah dan Masyarakat Indonesia patut bersyukur karena telah menyelesaikan konflik sejenis di Aceh. Ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding – MOU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada tahun 2005. Walaupun MOU Helsinki itu sendiri menuai banyak kritik, namun penandatanganan MOU Helsinki menandai berakhirnya konflik di Aceh.[9]
Seperti yang kita ketahui, konflik di Aceh mengemuka justru setelah Indonesia merdeka. Akar permasalahan utama ialah terjadinya akumulasi ketidakadilan dan ketidakmampuan memenuhi janji-janji yang membuat masyarakat Aceh merasa dikhianati dan dikecewakan oleh Pemerintah Pusat. Keadaan tersebut diperparah sejak ditemukannya sumber gas alam yang membuat Aceh menjadi ladang eksploitasi pemerintah Orde Baru untuk memperoleh devisa negara dengan hanya mengembalikan sangat sedikit bagi rakyat Aceh.
Dalam kondisi ketidakadilan itulah, Hasan di Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976. Pemerintah Orde Baru kemudian bereaksi dengan menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh dari tahun 1989 sampai 1998, yang merupakan puncak penderitaan rakyat Aceh.
Setelah pemerintahan Orde Baru berkhir, dimulailah era perundingan damai dengan GAM untuk mengakhiri konflik di Aceh. Perundingan dimulai pada masa pemerintahan Presiden Habibie dengan dihapuskannya DOM, dilanjutkan dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghasilkan gencatan senjata, kemudian oleh Presiden Megawati dengan menyepakati Cessation of Hostilities Agreement (COHA) dengan pimpinan GAM, dan yang terakhir yaitu perundingan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghasilkan Perjanjian Helsinki.
Dari beberapa upaya perundingan yang gagal ada pula yang berhasil. Ditandatanganinya Perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 merupakan titik awal berakhirnya konflik bersenjata selama 30 tahun lebih di Aceh. Walaupun Perjanjian Helsinki merupakan langkah awal untuk mewujudkan perdamaian menyeluruh di Aceh,[10] keberhasilan Pemerintah RI dalam penyelesaian konflik tersebut mendapat pujian dari berbagai pihak terutama dari dunia internasional.
Penyelesaian konflik di Aceh disebut-sebut sebagai salah satu model yang dapat diterapkan pada konflik-konflik sejenis di berbagai tempat di belahan dunia, terbukti dengan dimintanya Wakil Presiden RI Jusuf Kalla sebagai narasumber pada Simposium Internasional tentang Juru Runding Pemerintah untuk Perdamaian di Madrid, Spanyol, 28-30 September 2006.[11]
Sehubungan dengan itu, maka penulis mengemukakan penelitian dengan “Upaya Penyelesaian Konflik Etnis di Sri Lanka dengan Menggunakan Model Penyelesaian Damai di Aceh ditinjau dari Hukum Penyelesaian Perselisihan Internasional” terutama untuk membandingkan dua konflik sejenis yang berlangsung dan masalah-masalahnya, serta untuk mengkaji apakah bentuk penyelesaian yang diterapkan Aceh dapat berlaku efektif apabila diterapkan pada konflik sejenis di Sri Lanka.




B. Pokok Permasalahan
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas oleh penulis adalah :
1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan konflik di Sri Lanka sulit
diselesaikan?
2. Apakah upaya-upaya penyelesaian yang telah dilakukan terhadap konflik etnis di Sri Lanka?
3. Apakah model penyelesaian konflik di Aceh dapat berlaku efektif bagi Sri Lanka?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan konflik di Sri Lanka sulit diselesaikan.
2. Untuk menggambarkan upaya - upaya penyelesaian yang telah dilakukan terhadap konflik etnis di Sri Lanka.
3. Untuk menggambarkan apakah model penyelesaian konflik di Aceh dapat berlaku efektif bagi Sri Lanka.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Dengan dilakukannya penelitian ilmiah dalam skripsi ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan sumbangan wawasan dalam bidang akademis, khususnya mengenai bentuk-bentuk penyelesaian yang diterapkan dalam penelitian dalam kaitannya dengan Hukum Penyelesaian Perselisihan Internasional.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menggambarkan konflik yang terjadi di Sri Lanka dengan menggunakan penyelesaian konflik Aceh sebagai model. Selain itu untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk dan upaya-upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh para pihak yang terkait, serta alasan-alasan mengapa konflik di Sri Lanka masih terus berlangsung, sedangkan di Aceh telah berhasil diselesaikan.

D. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Obyek Penelitian
Penelitian tentang “Upaya Penyelesaian Konflik Etnis di Sri Lanka dengan menggunakan Model Penyelesaian Damai Aceh ditinjau dari Hukum Penyelesaian Perselisihan Internasional” merupakan suatu penelitian hukum normatif.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang hendak menelaah isi ketentuan hukum, khususnya hukum penyelesaian perselisihan internasional yaitu membandingkan penyelesaian konflik etnis di Sri Lanka dengan penyelesaian damai di Aceh.

Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dimana data-data yang dikumpulkan penulis menggambarkan mengenai penyelesaian konflik etnis di Sri Lanka maupun di Aceh, perbandingannya dan bentuk-bentuk penyelesaiannya yang mengacu pada hukum penyelesaian perselisihan internasional. Di samping itu untuk mencari pokok permasalahan dari penelitian tersebut, kemudian dibuatlah analisa berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
3. Data
a. Sumber Data
Data yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian
berasal dari data sekunder yang dibagi ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yang diambil dari peraturan-peraturan internasional yang berkaitan dengan konflik internal.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan analisis berikut penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari tulisan-tulisan baik itu berasal buku-buku ilmiah, artikel majalah atau harian, informasi on-line via internet, naskah ilmiah, catatan kuliah
Cara dan Alat Pengumpulan Data
Dalam melakukan kegiatan pengumpulan data, penulis menggunakan metode kepustakaan melalui studi dokumen terhadap data sekunder dengan mengambil acuan dari tulisan-tulisan, buku-buku, artikel-artikel, koran-koran, dan naskah-naskah ilmiah yang berkaitan dengan skripsi ini.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan di beberapa tempat seperti perpustakaan fakultas Hukum Universitas Trisakti, perpustakaan Syarif Thayeb Gedung M Universitas Trisakti, maupun mengakses data melalui internet.
Analisis data
Penelitian ini bersifat deskriptif maka analisis data yang diperoleh dan hasil penelitian dilakukan dengan dikumpulkan dan diolah secara kualitatif untuk memperoleh jawaban yang dapat menjadi suatu kesimpulan.
Metode kualitatif artinya data kepustakaan yang dianalisis secara mendalam, holistic, dan komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu pertama data yang dianalisis beragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantitatifkan. Kedua, sifat dasar data yang dianalisis adalah menyeluruh (comprehensif) dan merupakan satu kesatuan bulat (holistic). Hal ini ditandai dengan keanekaragaman datanya serta memerlukan informasi yang mendalam (Indepth information).
Metode Dalam Pengambilan Kesimpulan
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya metode dalam menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum. Metode ini dilakukan dengan cara menganalisis pengertian atau konsep-konsep umum, antara lain mengenai pengertian dan konsep dari konflik, faktor-faktor penyebab konflik, upaya-upaya penyelesaian yang telah dilakukan serta perbandingan penyelesaian dengan jenis konflik serupa, yaitu Sri Lanka dan Aceh.

E. Kerangka Konsepsional dan Teori
Sengketa yang terjadi di Sri Lanka dan di Aceh merupakan konflik internal yang termasuk dalam konflik bersenjata non-internasional. Konflik bersenjata non-international adalah suatu konflik yang terjadi di wilayah salah satu Pihak Peserta Agung antara Pasukan negara tersebut dengan Pasukan Pemberontak.[12] Instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai konflik bersenjata non-internasional adalah Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, isinya mengatur mengenai perang/konflik bersenjata yang sifatnya non-internasional, yaitu perang /konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan pembangkang atau pemberontak. Protokol Tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa.[13]
Terdapat beberapa definisi mengenai konflik bersenjata non-internasional yang dikemukakan oleh para pakar, antara lain :
L.C. Green berpendapat bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) Protokol II dapat dianggap sebagai definisi dari non-international armed conflict, yaitu :
”This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions or application, shall apply to all armed conflicts which are not covered b Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victioms of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces or other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustainrd and concerted military operations and to implement this Protocol.”

Dieter Fleck memberikan definisi mengenai non-international armed conflict sebagai berikut :[14]

”A non- international armed conflicts it is a confrontation between the existing governmental authority and groups of persons subordinate to his authority, which is carried out with arms withn national territory and reaches the magnitude of an armed riot or civil war.”

Sementara itu perumusan Non-international armed conflict dari ICRC adalah :[15]

”A Non-international armed conflict is a confrontation within the territory of one State between the regular armed forcesand identifiable armed groups, or between armed groups.”

Konflik internal yang terjadi dalam suatu negara yang disebut juga dikenal sebagai Civil War (Perang Saudara). Adapun terdapat pengertian mengenai Civil War yang dikemukakan oleh beberapa pakar diantaranya :

1. Lauterpacht memberikan definisi mengenai Civil War, yaitu apabila
dua pihak dalam satu negara terlibat dalam suatu pertikaian dengan
menggunakan senjata, dengan tujuan mendapatkan kekuasaan
dalam negara tersebut, atau apabila sebagian besar rakyat suatu
negara mengangkat senjata menentang pemerintah yang sah.[16]

2. Greenspan memberikan definisi mengenai Civil War, yaitu :[17]
”The expression ”not of an international character” in relation to armed conflicts certainly includes civil war, wars of resistance and wars of liberations.”

G. Sistematika Penulisan
Keseluruhan bagian pokok dari skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan, kerangka konsepsional dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PENYELESAIAN PERSELISIHAN INTERNASIONAL
Dalam Bab II ini, penulis akan menguraikan mengenai pengertian, dasar hukum serta bentuk-bentuk dari penyelesaian perselisihan internasional.

BAB III PERMASALAHAN DI SRI LANKA DAN DI ACEH SEBAGAI PERBANDINGAN
Dalam Bab III akan diuraikan mengenai para pihak, permasalahan di Sri Lanka dan Aceh sebagai perbandingan, bentuk-bentuk penyelesaian perselisihan yang telah diterapkan khususnya terhadap Sri Lanka serta perjanjiannya.

BAB IV ANALISIS MENGENAI PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI SRI LANKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PENYELESAIAN DAMAI DI ACEH
Dalam Bab IV ini, penulis memberikan analisis dan penilaian terhadap masalah yang dibahas, selain itu menguraikan alasan kemungkinan dapat diterapkannya penyelesaian konflik etnis di Sri Lanka dengan menggunakan model penyelesaian damai di Aceh , pro dan kontranya serta alasan-alasan mengapa hingga saat ini konflik etnis di Sri Lanka belum dapat terselesaikan.

BAB V PENUTUP
Dalam Bab V ini, penulis akan menarik kesimpulan dan saran dari permasalahan yang dibahas, yang diharapkan dapat memberikan jawaban yang jelas, tegas, ringkas tentang permasalahan yang ada dalam skripsi ini.


























BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENYELESAIAN PERSELISIHAN
DALAM KONFLIK INTERNAL

A. Pendahuluan
Perbedaan pandangan dalam hubungan antar negara kerapkali terjadi, dan tidak jarang pihak-pihak yang terlibat dalam perbedaan pandangan memilih jalan konflik atau sengketa untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Konflik sendiri merupakan suatu bentuk pertentangan atas suatu hal yang dirasakan berlawanan oleh para pihak yang bertikai. Terdapat alasan-alasan yang menyebabkan timbulnya konflik atau sengketa antar negara, diantaranya sengketa wilayah, kerusakan lingkungan, sumber daya alam, politik, perdagangan dan lain-lain. Manakala hal demikian terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.[18]
Selain konflik antar negara terdapat juga konflik internal, yaitu konflik yang terjadi dalam lingkup wilayah nasional suatu negara. Latar belakang dari konflik internal pun berbeda-beda, ada yang bersumber dari etnis, agama, ideologi atau wilayah.
14 Bibit-bibit dari konflik internal suatu negara sudah ada sebelum suatu wilayah membentuk suatu negara atau memperoleh kemerdekaan, khususnya bagi sebagian besar negara-negara di wilayah Asia Selatan. Pada saat wilayah-wilayah tersebut dikuasai oleh kaum penjajah, adanya perbedaan etnis, agama, ras dan kasta dipertahankan dan bahkan diperuncing oleh penjajah guna memecah belah dan bahkan mengadu domba mereka sehingga tidak bersatu menjadi kekuatan besar yang dapat membahayakan kekuasaan penjajah. Potensi konflik internal dalam suatu wilayah jajahan terus terjadi dan tetap dilestarikan oleh para penjajah hingga wilayah-wilayah tersebut memperoleh kemerdekaan. Perpecahan di masyarakat seperti ini justru diperparah di alam kemerdekaan suatu negara ketika suatu kelompok menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Hal tersebut tentunya mengkibatkan perlawanan dari kelompok yang merasa mendapat perlakuan diskriminatif berupa protes, demonstrasi, kerusuhan massal dan pada akhirnya terjadi pemberontakan bersenjata yang masuk dalam kategori konflik internal.
Puncak dari timbulnya konflik-konflik internal di berbagai belahan dunia terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1990, dimana dunia tidak lagi terpolarisasi kedalam dua kubu, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Berakhirnya Perang Dingin juga berdampak terhadap keutuhan Uni Soviet, dimana sebagian besar wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Uni Soviet memerdekakan diri. Sebagai contoh Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Ukraina, Latvia, Armenia dan lain-lain. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan pecahnya Uni Soviet, muncul semangat nasionalis primordial/kedaerahan untuk melepaskan diri dari dari negara federal.
Seperti yang telah kita ketahui, banyak wilayah-wilayah negara yang hingga kini telah lepas atau berusaha untuk melepaskan diri dari negara federal atau pemerintah pusat. Seringkali, usaha-usaha untuk memerdekakan diri mendapat pertentangan dari pemerintah pusat sehingga timbul konflik internal yang tidak jarang melibatkan penggunaan senjata.
Apabila dikaitkan dengan Hukum Humaniter, konflik yang terjadi di Sri Lanka dan di Aceh masuk dalam kategori konflik bersenjata non-internasional seperti yang diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Tambahan Protokol II tahun 1977. Sehubungan dengan itu, pada Bab II penulisan karya ilmiah, penulis akan menguraikan lebih rinci mengenai teori-teori dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan konflik internal. Faktor-faktor munculnya konflik internal pun beragam, beberapa diantaranya karena ketidakadilan pembagian sumber daya alam, diskriminasi ras maupun agama, penguasaan suatu wilayah oleh pemerintah pusat yang terlalu berlebihan dan lain-lain.

B. Pengertian Konflik
Dalam kehidupan sosial manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut ”konflik”. Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.[19]
Konflik menurut Kumar Rupesinghe adalah suatu keadaan dimana pelaku-pelaku yang berbeda menghendaki tujuan yang bertentangan satu sama lain.[20] Sedangkan konflik menurut Anthony de Reuck adalah suatu fenomena yang timbul diantara para pihak yang merasa mempunyai tujuan yang bertentangan satu sama lain.[21] Pengertian lain menyatakan bahwa konflik mengandung nilai-nilai yang secara jelas bertentangan satu sama lain, dimana pihak ketiga dapat berperan membantu menyelesaikan konflik tersebut dengan cara memperjelas nilai-nilai dan hak-hak pihak yang bersengketa.[22]
Pengertian-pengertian konflik yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya dapat diambil kesimpulan yaitu adanya persamaan makna bahwa suatu konflik akan terjadi apabila diantara para pihak yang bertentangan tidak memiliki pemahaman dan tujuan yang sejalan satu sama lain. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara kedua belah pihak apabila tidak terkendali akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan, untuk itu diperlukan penyelesaian.
Konflik-konflik yang terjadi tidak hanya berdasarkan pada kepentingan, namun melibatkan banyak sekali dimensi-dimensi sosial masyarakat yang berkaitan dengan identitas dan keamanan dari masyarakat yang berkaitan. Konflik yang melibatkan identitas-identitas pokok dari kelompok yang bersengketa tersebut cenderung sangat sulit untuk diatasi.
Secara umum, konflik memiliki beberapa karakteristik diantaranya yang melibatkan dua atau lebih pelaku, kepentingan yang bertentangan satu sama lain, tujuan dan nilai-nilai serta pencarian strategi yang dapat mengarah pada penyelesaian pebedaan maupun, kondisi yang lebih buruk yang dapat mengarah pada kekerasan. Seorang pakar, Bercovitch dalam pengamatannya menyatakan bahwa jika suatu konflik terjadi, maka dapat diatasi dengan salah satu atau beberapa cara sebagai berikut, yaitu dengan cara kekerasan dan paksaan, berbagai bentuk negosiasi secara langsung maupun tidak langsung, serta keterlibatan pihak luar atau pihak ketiga baik yang bersifat terikat ataupun tidak terikat.[23]

C. Tipe-Tipe Konflik dan Penyelesaiannya
Konflik dibedakan atas berbagai macam jenis. Beberapa pakar mengelompokkan konflik kedalam beberapa jenis diantaranya :
Dahendorf membedakan konflik menjadi 4 macam yaitu:[24]
a. Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi.
b. Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
c. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir .
d. Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).

D. Bentuk-bentuk Penyelesaian Konflik
Dalam menghadapi suatu konflik diperlukan adanya upaya penyelesaian agar konflik yang berlangsung tidak meluas dan sebaliknya dapat mengarah pada terciptanya proses perdamaian. Tujuan dari penyelesaian konflik itu sendiri adalah untuk mengubah konflik yang mengarah pada kekerasan menuju proses yang lebih damai.[25] Oleh karena itu, terdapat cara-cara yang dapat diterapkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Berikut ini, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk penyelesaian sengketa.
1. Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak.[26] Konsiliasi juga melibatkan usaha dari peranan penengah untuk menganjurkan agar para pihak yang berselisih dapat menuju proses negosiasi tanpa penggunaan kekerasan. Tujuan utama dari konsiliasi adalah untuk membantu mengetahui pokok persoalan dari pertikaian, mengurangi pertikaian diantara para pihak dan mengupayakan mereka menuju proses perundingan[27].
2. Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah/perdamaian. Para pihak yang bersengketa mengadakan pertemuan-pertemaun dan pembicaraan dengan tujuan untuk mengakhiri sengketa secara damai. Pihak-pihak yang mengadakan negosiasi dinamakan negosiator. Di dalam negosiasi tidak ada pihak ketiga yang terlibat. Apabila terjadi kesepakatan, kemudian dibuat perjanjian perdamaian.
Cara penyelesaian melalui negosiasi dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku dan lain-lain. Bahkan, apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan[28].
3. Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah/perdamaian. Para pihak yang berselisih dalam proses mediasi mengadakan pertemuan-pertemuan dan pembicaraan-pembicaraan dengan tujuan untuk mengakhiri sengketa secara damai.
Di dalam mediasi terdapat peran dari pihak ketiga yang disebut mediator atau juru runding. Peran dari mediator hanya sebagai pihak yang netral dalam proses negosiasi . Selain itu, mediator juga berperan untuk memfasilitasi secara langsung negosiasi, mencari solusi, mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa dengan harapan untuk menghasilkan penyelesaian yang abadi.[29]
Pada mediasi, para pihak bebas menentukan prosedurnya. Kesepakatan dari para pihak diutamakan, mulai dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai pada berakhirnya tugas mediator.[30] Di dalam mediasi, mediator tidak dibenarkan untuk memberikan saran yang sifatnya memihak. Apabila terjadi kesepakatan, kemudian dibuat perjanjian perdamaian.
4. Pencarian Fakta[31]
Pencarian fakta adalah campur tangan pihak ketiga untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya dari suatu sengketa dengan permintaan para pihak yang berselisih. Penyelesaian suatu sengketa biasanya menimbulkan perbedaan pandangan, oleh karena itu diperlukan peran pencari fakta untuk menguraikan fakta-fakta penyebab konflik.
Cara penggunaan fakta-fakta di lapangan ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak.
4. Jasa-Jasa Baik[32]
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi, fungsi utama dari jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegosiasi.
Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa terdiri dari dua cara, yaitu atas permintaan para pihak atau inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Dalam kedua cara tersebut, syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak.
5. Arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud disebut juga dengan arbiter. Seorang arbiter mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. Putusan dari arbiter sifatnya final dan mengikat. Para pihak yang berselisih tidak dapat menyerahkan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase apabila tidak ada kesepekatan tertulis dari kedua belah pihak, artinya harus ada klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis.
6. Litigasi
Litigasi adalah penyelesaian dengan menggunakan jasa pihak ketiga, yakni hakim. Dalam hal ini, tidak diperlukan kesepakatan, artinya salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat langsung mengajukan gugatan ke pengadilan tanpa harus ada persetujuan dari pihak yang lainnya. Dalam penyelesaian model ini, hakim mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan putusan. Pihak yang kalah berhak untuk banding dan kasasi.

D. Bentuk-bentuk Konflik Internal
Kumar Rupesinghe dalam tulisannya yang berjudul ”Strategies for Conflict Resolution: the Case of South Asia”[33] membagi tipe konflik di Asia Selatan yang juga merupakan bentuk konflik internal di negara- negara berkembang seperti Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur ke dalam 4 kategori yaitu :
1. Interstate conflicts (Konflik Antar Negara).[34]
Konflik antar negara bagian adalah konflik yang terjadi antar negara satu dengan negara lainnya, dimana posisi dari negara-negara yang bersengketa masih berdekatan. Konflik antar negara pada umumnya terjadi diantaranya yang berkaitan dengan sengketa wilayah, klaim perbatasan maupun penguasaan atas sumber daya alam. Sebagai contoh sengketa di Asia Selatan yaitu yang terjadi antara India dan Pakistan, sengketa yang bermula sejak tahun 1947 didasarkan pada perebutan wilayah yang bernama Kashmir. Kashmir yang terletak antara India dan Pakistan memang merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya alam termasuk sumber mata air yang mengaliri kedua negara tersebut, sehingga menyebabkan timbulnya konflik kedua negara yang berkepanjangan sampai sekarang. India dan Pakistan sama-sama mengakui Kashmir sebagai bagian dari wilayah mereka dan keduanya pun menginginkan Kashmir berada di bawah kedaulatan mereka. Pakistan yang menguasai sepertiga dari Kashmir menuntut seluruh wilayah yang dihuni oleh sebagian besar penduduk di sana yang beragama Islam. Di satu sisi, warga Muslim menginginkan wilayah Kashmir di bawah pemerintahan negara Pakistan, sedangkan para milisi baik Islam maupun Hindu menginginkan kemerdekaan Kashmir seutuhnya. Lain halnya dengan India yang menyatakan bahwa kemerdekaan Kashmir hanya akan menimbulkan serangan balas dendam terhadap seratus juta lebih umat Muslim di India. Hal tersebut menandakan terdapat kepentingan dan keinginan yang berbeda-beda dari para pihak yang terkait sehingga menimbulkan konflik.
Konflik antar negara terjadi karena tidak adanya persamaan paham yang seringkali diselesaikan dengan cara kekerasan, sehingga tidak jarang adanya keterlibatan pihak ketiga untuk turut membantu penyelesaian konflik. Pihak ketiga yang dimaksud dapat berupa negara, perorangan atau kelompok sebagai mediator maupun pasukan perdamaian dari institusi internasional seperti PBB.
2. Governance and Authority Conflicts (Konflik Melawan Pemerintah/Penguasa).[35]
Konflik melawan pemerintah atau penguasa berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan kewenangan di dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan erat dengan perluasan kewenangan masyarakat sipil di daerah-daerah yang dalam pemerintahan dikenal dengan desentralisasi dan demokratisasi. Konflik melawan pemerintah pada umumnya adalah untuk menuntut demokrasi dan partisipasi politik yang lebih besar dalam suatu negara.
Konflik ini terjadi karena adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat atas kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Rakyat merasa pemerintah, dalam memimpin negara atau menetapkan suatu kebijakan tidak memihak kepada mereka sehingga kemudian timbul pertentangan yang memicu pada konflik.
Dalam konflik jenis ini, proses menuju negara demokrasi dapat menjadi sulit sekali untuk terwujud, mengingat pemerintah yang berkuasa lebih mengutamakan kekuasaan dibandingkan aspirasi rakyatnya. Dengan menetapkan kebijakan secara sepihak, penguasa yang lebih mengutamakan kekuasaan menggangap bahwa apa yang diterapkan merupakan yang terbaik untuk rakyatnya padahal pada kenyataannya banyak hal-hal yang tidak diperhatikan dan dianggap merugikan. Penguasa di negara semacam itu cenderung menjadi diktator-otoriter.
Banyak sekali contoh dari negara-negara dengan kondisi konflik melawan pemerintah. Asia Selatan adalah salah satu contoh dari lemahnya penerapan praktek demokrasi yang terlihat secara jelas. Seperti yang terjadi di Nepal, Bangladesh dan Pakistan, melalui mekanisme Pemilu ditambah dengan adanya pergerakan politik di dalam negara maupun tekanan masyarakat internasional, pada akhirnya pemimpin yang didukung rakyat mampu untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan otoriter.
Di Pakistan, proses demokrasi murni terjadi setelah beberapa pemerintahan sipil digulingkan oleh pemimpin militer yang kemudian melakukan rekayasa Pemilu guna memperpanjang kekuasaannya. Bangladesh juga mengalami perubahan, dari pemerintahan militer yang otoriter dengan dilakukannya aksi protes dan demonstrasi. Sama halnya dengan Nepal, yang mampu untuk melaksanakan proses demokrasi dengan melangsungkan pemilihan umum setelah melewati tekanan politik dan pemberontakan, akhirnya berhasil merancang pembuatan undang-undang yang baru. Sri Lanka, di sisi lain, telah melewati berbagai proses pemilihan umum dan demokrasi yang berpihak pada satu kelompok masyarakat tertentu, sehingga menimbulkan protes yang memicu timbulnya, penculikan, penyikasaan dan pembunuhan.
3. Ideological Conflicts (Konflik Ideologi).
Konflik Ideologi adalah pertentangan paham politik/ideologi dari suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Pertentangan ideologi-politik di dunia pada umumnya adalah antara paham yang berbasis sosialis-komunis dan ideologi liberal-kapitalis.
Perbedaan ideologi besar dunia antara sosialis-komunis dengan liberal-kapitalis itu sedemikian tajam sehingga sulit dikompromikan dan bahkan cenderung mengarah pada pertentangan bersenjata sampai perag terbuka. Di era Perang Dingin, terbentuk dua blok besar yang salaing bermusuhan, masing-masing Blok Timur (Sosialis-Komunis) di bawah komando Uni Soviet dan Blok Barat (Liberal-Kapitalis) di bawah pimpinan Amerika Serikat. Contoh yang terakhir di wilayah Asia Selatan adalah Nepal dengan kelompok Maois yang menentang sistem pemerintahan monarki, dimana dengan dukungan rakyat akhirnya kelompok Maois beserta kelompok lainnya berhasil menumbangkan raja Nepal. Di India pun terdapat banyak pertentangan ideologi, seperti yang terjadi pada suku bangsa Assam dan Naga yang juga dipengaruhi paham ideologi sosialis-Maois.
4. Identity Conflicts (Konflik etnis/identitas)[36].
Banyak dari konflik etnis atau identitas kelompok sekarang ini memiliki pengaruh atau komponen transnasional yang tidak lain merupakan sumber utama dari konflik. Salah satu penyebab terjadinya konflik etnis diantaranya karena masalah perbatasan atau adanya gerakan separatis dalam suatu negara itu sendiri. Sumber lainnya adalah pada saat kelompok minoritas pada suatu negara membentuk kelompok separatis di negara tersebut, seperti contoh kelompok atau suku Naga dan Assam di India, Pashtun di Pakistan dan Tamil di Sri Lanka. Timbulnya konflik etnis disebabkan oleh berbagai faktor, dan cara penyelesaiannya pun beragam. Konflik mengenai wilayah perbatasan pada umumnya lebih sulit untuk diselesaikan. Meningkatnya populasi, tekanan, kemiskinan dan kesenjangan antara kelas sosial juga merupakan pendukung terjadinya konflik etnis. Bahasa, budaya dan agama merupakan sumber lain terjadinya konflik etnis sebagai suatu bentuk pencarian identitas.
5. Religion and Fundamentalism (Agama dan Fundamentalisme)[37].
Agama dalam segala perwujudannya selalu merupakan sumber dari identitas kelompok masyarakat. Agama juga sangat erat kaitannya dengan konflik internal. Walaupun pada awalnya diprediksi agama secara perlahan hilang seiring dengan timbulnya modernisasi, namun agama itu sendiri masih merupakan sumber utama identitas dari masyarakat dengan berbagai latar belakang agama besar dunia entah itu Nasrani, Muslim, Yahudi, Buddha atau Hindu.

6. Violence and Militarization (Kekerasan dan Militerisme).[38]
Transisi menuju pemerintahan sipil pada banyak kasus selalu menimbulkan kekerasan. Pemerintahan tersebut selalu melibatkan angkatan bersenjata yang menjadi alat penguasa, dengan kekuasaan absolut yang melakukan berbagai cara untuk terus berkuasa, termasuk kekerasan militer. Sebagai contoh di wilayah Asia Selatan, terdapat kasus-kasus dimana hak-hak rakyat banyak disalahgunakan, diskriminasi yang semakin meluas dan kondisi perekonomian dan sosial yang cenderung terus menurun bukan sebaliknya meningkat. Di beberapa negara seperti di Sri Lanka, pelanggaran-pelanggaran berat atas hak asasi manusia terus berlangsung di bawah pemerintahan sipil. Pelanggaran-pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti penculikan dan pembunuhan tetap saja terjadi pada masa demokrasi politik di bawah pemerintahan sipil.
Setiap negara di wilayah Asia Selatan telah mengalami berbagai bentuk kekerasan secara besar-besaran, dalam bentuk pertikaian bersenjata termasuk pembunuhan terorganisir dan terorisme. Skala dari berbagai kekerasan yang berlangsung selama bertahun-tahun terjadi di wilayah Asia Selatan hanya bisa diimbangi oleh kebrutalan dan kekerasan berdarah terus menerus di benua Afrika.
Dalam perkembangannya belakangan ini, secara berangsur-angsur telah terjadi perubahan pandangan dan suasana dalam kaitannya dengan kekerasan politik dan terorisme. Saat ini, terorisme telah digunakan sebagai alat politik. Pengeboman dan pembunuhan secara besar-besaran telah menjadi suatu hal yang biasa, ditambah media massa yang memberitakan berita-berita mengenai pembunuhan yang mengerikan dan kekerasan sehari-hari. Pemberitaan media masa secara terus menerus akan kekerasan membuat rakyat pada akhirnya menilai bahwa hal tersebut merupakan suatu hal yang biasa sehingga menjadikan mereka tidak dapat bertindak semestinya dan cenderung bersikap pasif. Masyarakat dari kalangan kelas menengah pun pada umumnya tidak menghiraukan dampak atau akibat dari kekerasan yang berkepanjangan, selama kekerasan tersebut tidak berada di wilayah mereka. Propaganda dari kekerasan menggambarkan terorisme sebagai senjata penangkal yang mengarah kepada pendirian keamanan suatu negara.

F. Civil War (Perang Saudara) dan Pemberontakan.
Konflik internal dalam suatu negara ada kalanya menimbulkan pertikaian berupa Civil War (Perang Saudara). Perang Saudara tergolong sebagai konflik bersenjata yang bersifat non-internasional. Dengan itu, terdapat beberapa definisi mengenai Perang Saudara yang dikemukakan oleh beberapa pakar diantaranya :
Lauterpacht yang memberikan definisi sebagai berikut :[39]
”Civil War exist when the opposing parties within a State have recourse to arms for the pupose of obtaining power in the State, or when a large portion of the population of a State rises in arms against the legitimate government.
Such a Civil War need not to be war from the beginning, nor become war at all, in the technical sense or the term.
But it may become war through the recognition of the contending parties, or the insurgents, as a belligerent power.”

Dari definisi diatas, Lauterpacht menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak dalam satu negara terlibat dalam suatu pertiakaian dengan menggunakan senjata, dengan tujuan mendapatkan kekuasaan dalam negara tersebut, atau apabila sebagian besar rakyat suatu negara mengangkat senjata menentang Pemerintah yang sah.
Penulis lain Dhokalia, memberikan definisi sebagai berikut :[40]
”A ’civil war’, in a limited sense, is a conflict between two indigenous factions fighting to acquire control of the government. It is, in other words, a war of the citizens against the state or of the citizens against citizens for obtaining control of government in the whole part of the state. The objectives of the armed conflict may be to over-throw an established government, to separate parts of the state with a view to seceding from the parent state, to eliminate colonial rule asserting the right of the people to self-determination, or to liberate the proletariat from the capitalist. An internal violence remains a matter of domestic concern as long as the conflict between the local contending parties remain within such dimensions that its incidence will affect only the local government.”

Selain memberikan definisi mengenai Perang Saudara, Dhokalia juga menjelaskan beberapa macam tujuan yang ingin dicapai dalam suatu Perang Saudara.
Smith memberikan penjelasan sebagai berikut :[41]
”A civil war-the Court observed-is never solemly declared, it becomes such by its accidents-the number, power, and organization of the persons who originate snd carry it on.
When the party in rebellion occupy and hold in a hostile manner a certain portion of territory, have organized armies; have commence hostilities against their former sovereign, the world acknowledges them as belligerents, and the contest a war.”

Pada konflik internal selain melibatkan Perang Saudara juga menimbulkan gerakan pemberontak terhadap suatu negara. Adanya gerakan pemberontak terjadi karena rasa ketidakpuasan/ketidakadilan yang dirasakan oleh suatu golongan tertentu terhadap kebijakan dari Pemerintah negara setempat sehingga menimbulkan pemberontakan.
Pemberontakan dan Gerakan Pemberontak bukan merupakan hal baru. Pemberontakan selalu ada, biasanya dalam bentuk mengangkat senjata untuk membalas suatu ketidakadilan penguasa terhadap mereka. Dalam melakukan hal tersebut pada kebanyakan kasus mereka bereaksi untuk menggerakkan atau menekan yang lain.[42]
Selain daripada itu, Pemberontakan mungkin juga ditujukan untuk melawan pengaruh asing atau suatu pendudukan langsung oleh suatu pasukan dari luar yang mendukung gerakan dan selanjutnya sering disebut sebagai suatu gerakan perlawanan. Pemberontakan atau gerakan perlawanan merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang lebih lemah terhadap mereka yang berkuasa.[43]
Adapun, terdapat definisi mengenai pemberontakan yang diutarakan oleh Brad E.O’Neill sebagai berikut :[44]
”Pemberontakan didefinisikan sebagai suatu pertempuran antara kelompok yang tidak berkuasa dengan pejabat yang berkuasa yang mana kelompok yang sedang berkuasa dengan sengaja menggunakan sumber-sumber politik (contohnya keahlian organisasi, propaganda, serta demonstrasi) dan kekerasan untuk menghancurkan, merumuskan kembali, serta memelihara dasar kekuasaan dari satu atau lebih aspek politik.”


G. Konflik Bersenjata Non-Internasional
Konflik internal dalam suatu negara tidak jarang melibatkan penggunaan senjata sebagai upaya untuk membela diri. Pemicu timbulnya konflik internal pun beragam yaitu adanya suatu kelompok yang merasa adanya ketidakadilan terhadap mereka atau rasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah yang ada. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, timbul pertentangan yang pada akhirnya memicu timbulnya konflik etnis, agama maupun konflik yang menghendaki kemerdekaan. Konflik bersenjata yang terjadi diantara masyarakat dari satu negara disebut juga sebagai Perang Saudara (Civil War) dan pihak-pihak yang melakukan perlawanan terhadap suatu rezim yang berkuasa disebut sebagai pemberontak.
Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai sengketa bersenjata non-internasional apabila terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata pemerintah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed group) di dalam wilayah suatu negara, atau bentuk lain pada suatu situasi dimana terjadi pertempuran antara faksi-faksi bersenjata tanpa suatu intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah.
Konflik bersenjata non-internasional diatur dalam instrumen internasional yaitu pada Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Pasal tersebut mengatur mengenai perang/konflik bersenjata yang bersifat non-internasional. Konfik bersenjata yang bersifat non-internasional adalah perang/konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung, antara pasukannya dengan pasukan bersenjata pembangkang/pemberontak.[45]
Selain Konvensi Jenewa 1949, terdapat juga instrumen lain yang mengatur mengenai konflik bersenjata non-internasional yaitu Protokol Tambahan II tahun 1977. Protokol tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup dari Konvensi Jenewa 1949.
Adapun terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar maupun organisasi internasional mengenai konflik bersenjata internasional, diantaranya :
a. Dieter Fleck yang memberikan definisi sebagai berikut:[46]
”A non-international armed conflicts it is a confrontation between the existing governmental authority and groups of persons subordinate to his authority, which is carried out with arms within national territory and reaches the magnitude of an armed riot or civil war.”

b. Definisi dari International Review of the Red Cross, yaitu:[47]
”Non-international armed conflicts are those in which government forces are fighting with armed insurgents, or armed groups are fighting among themselves.” (International Review of the Red Cross-No. 401-2001, p.18)

H. Instrumen-Instrumen Internasional yang Mengatur Mengenai Konflik Bersenjata Non-Internasional.
1. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949
Konvensi Jenewa 1949 khususnya pasal 3 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai konflik bersenjata non-internasional. Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi Jenewa tahun 1949, sengketa bersenjata yang terjadi dalam suatu wilayah kekuasaan politik atau negara ikut diatur.[48]
Menurut Konvensi Jenewa, suatu situsi dapat dikatakan sebagai suatu sengketa bersenjata non-internasional apabila memenuhi syarat-syarat :[49]
a. Bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki kekuatan militer yang terorganisir, dipimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa;
b. Bahwa pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan kekuatan militer reguler untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan menguasai sebagian wilayah nasional;
c. Bahwa:
1) Pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent;
2) Pemerintah telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent;
3) Pemerintah telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja;
4) Perselisihan tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap Perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi.
d. Bahwa:
1) Pemberontak mempunyai organisasi yang bersifat negara;
2) Penguasa sipil (civil authority) melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang yang ada di wilayah tertentu;
3) Kekuatan bersenjata bertindak di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir;
4) Penguasa sipil pemberontak setuju terikat pada ketentuan Konvensi.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung penandatanganan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[50]
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan diskriminatif apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga:[51]
a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama segala macam bentuk pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
b. Penyanderaan;
c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status sebagai pemberontak atau status lainnya dari sengketa bersenjata itu sendiri.[52]
Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-Konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature).[53]
Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan/kesepakatan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa:[54]
a. Dengan adanya Pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh Konvensi berlaku dalam sengketa bersenjata yang bersifat internal, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.
b. Pasal 3 tidak mengurangi hak dari pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.

2. Protokol Tambahan II[55]
Latar belakang pembentukan Protokol Tambahan II adalah karena dengan berakhirnya Perang Dunia II, konflik-konflik yang terjadi kebanyakan adalah konflik yang bersifat non-internasional. Konflik bersenjata non-internasional diatur dalam Pasal 3 Ketentuan Umum (common articles) Konvensi Jenewa 1949. Namun karena dirasakan belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik-konflik bersenjata non-internasional, maka diperlukan peraturan yang lebih lengkap untuk mengatasi hal ini.
Protokol Tambahan II diterapkan terhadap konflik-konflik bersenjata internal dari suatu negara yang sudah memiliki intensitas tertentu dimana pemberontak bersenjata dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya dan dapat melaksanakan pengawasan terhadap sebagian wilayah dari wilayah nasional yang bersangkutan.
Ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan:
a. Mengatur : jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat lagi dalam suatu pertempuran.
b. Menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang baik.
c. Memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil untuk kepentingan umum.
d. Melarang dilakukannya tindakan untuk menciptakan kelaparan secara disengaja.
Protokol Tambahan II juga menentukan bahwa orang-orang yang luka harus dilindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas hanya kepada mereka yang secara resmi berhak memakainya.
Prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Pasal 3 common articles kembali ditegaskan dalam Protokol Tambahan II. Namun, demikian, kendati terdapat penegasan-penegasan, Protokol Tambahan II ini juga membatasi hak-hak negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban berdasarkan peraturan mereka masing-masing. Oleh karena itu, pentaatan terhadap Protokol II, tidak menyiratkan adanya pengakuan dari suatu negara terhadap status para pemberontak bersenjata.
Di dalam Protokol Tambahan II terdapat beberapa hal yang diatur mengenai konflik bersenjata non-internasional diantaranya:
a. Pasal 2 Protokol Tambahan II
Pada Pasal 2 Protokol II diatur antara lain mengenai prinsip non-diskriminasi. Dalam arti, Protokol ini harus diterapkan tanpa melihat perbedaan atas dasar ras, warna kulit, gender, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat atau opini, keturunan, harta, status kelahiran atau yang berkaitan dengan itu. Hal tersebut berlaku bagi semua orang yang terkena dampak akibat dari konflik bersenjata non-internasional. Protokol ini berlaku bagi semua penduduk terhadap suatu negara yang terlibat konflik terlepas dari kebangsaannya, termasuk para pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan.Dijelaskan juga bahwa pihak-pihak yang dilindungi berdasarkan aturan-aturan dari Protokol untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Adapun, terdapat pengecualian apabila menyangkut anak-anak dan warga lanjut usia. Pihak-pihak yang merupakan korban dari konflik bersenjata sebagaimana yang dijelaskan dalam paragraf pertama Pasal 2 Protokol Tambahan II, artinya berlaku terhadap semua pihak dimanapun selama berada di wilayah yang terlibat dalam konflik.
Selain itu, pihak-pihak yang tidak lagi terlibat dalam pertikaian juga memperoleh hak atas perlindungan sebagaimana yang tercantum dalam Protokol.
Pasal 2 juga menjelaskan bagi orang-orang yang telah dirampas hak/kemerdekaannya sebagai akibat dari terjadinya konflik bersenjata, untuk memperoleh perlindungan seperti yang tercantum pada Pasal 5 dan 6 Protokol Tambahan II.
b. Pasal 3 Protokol Tambahan I







Bab III
KONFLIK DI SRILANKA DAN MODEL PENYELESAIAN KONFLIK DI ACEH

A. LATAR BELAKANG KONFLIK ETNIS DI SRI LANKA
Konflik di Sri Lanka yang hingga kini terus bergejolak telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum masa penjajahan dan kemerdekaan Ceylon yang merupakan nama lain dari Sri Lanka sebelum diperoleh kemerdekaan. Di Sri Lanka terdapat enam kelompok etnis yaitu Sinhala, Tamil-Sri Lanka, Indian-Malaiyaha Tamil, Sri Lankan Moor, Burgher dan Malay. Diantara keenam klasifikasi etnis, Sinhala memiliki populasi paling besar diantara, sedangkan populasi paling kecil berasal dari suku Burgher dan Moor.[56]
Sejarah timbulnya berbagai suku di Sri Lanka berawal dari lahirnya suku Sinhala disertai dengan kedatangan Pangeran Vijaya ke Sri Lanka tahun 543 dari India Utara. Kedatangan Pangeran Vijaya bertepatan dengan wafatnya Buddha Gautama kemudian dilanjutkan dengan perkawinan Vijaya dengan putri setempat dari suku Veddha yang sudah mendiami pulau itu. Dengan demikian, Pangeran Vijaya dianggap sebagai Raja Sinhala yang pertama. Kedatangan Vijaya kemudian disusul dengan datangnya kelompok suku Arya dan suku Dravida (Tamil) dari India Selatan.
Pada waktu Raja Devanampiyantissa yang bertahta di Anuradhapura (267 SM), di India bertahta Raja Asoka. Pada tahun itu, Asoka mengutus puteranya Pangeran Mahendra untuk menyebarkan agama Buddha di Sri Lanka. Misi Mahendra memperoleh sukses dimana Raja Anuradhapura, keluarganya dan para pejabat kerajaan mulai memeluk agama Buddha.
Seiring berjalannya waktu, kerajaan suku Sinhala sering diserang dan diduduki oleh tentara India Selatan, yaitu suku Pandyan dan Chola. Mereka kemudian mendirikan kerajaan suku Tamil di Sri Lanka bagian Utara, yang pada umumnya memeluk agama Hindu. Kedua kerajaan berbasis etnis tersebut selalu bersaing dan tidak jarang saling serang satu sama lain. Sejarah inilah yang sampai sekarang menjadi dasar tuntutan suku Tamil Sri Lanka bahwa mereka mempunyai hak untuk mendirikan negara sendiri (Tamil Eelam) dengan wilayah Provinsi Utara dan Timur Sri Lanka.
Pada tahun 1505, bangsa Portugis tiba di Galle (bagian Selatan) Sri Lanka karena kehilangan arah sewaktu hendak menuju Maldives. Pada waktu itu terdapat 3 kerajaan kuat yaitu, Kotte dengan dominasi suku Sinhala yang terletak 5 km di sebelah Timur Colombo, Kandy dengan dominasi suku Sinhala dan terletak di dataran tinggi Provinsi Tengah dan Jaffna dengan mayoritas suku Tamil yang terletak di Propinsi Utara. Kerajaan-kerajaan tersebut sudah ada sejak lebih dari 5 abad. Perdagangan kayu manis di Ceylon membuat bangsa Portugis tertarik terhadap wilayah tersebut. Kedatangan bangsa Portugis yang kemudian berubah menjadi penjajahan menyebabkan keruntuhan dinasti kerajaan Sinhala seiring dengan ditaklukkannya juga wilayah Jaffna dan Kotte oleh tentara Portugis.
Penjajahan Portugis pun tidak bertahan lama dengan diusirnya bangsa tersebut oleh armada perang Belanda yang berkekuatan sekitar 2.000 tentara pada abad ke-18. Belanda kemudian bekerjasama dengan Kerajaan Kandy dimana berdasarkan kesepakatan Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah, sedangkan daerah-daerah pantai yang dikuasai Portugis dikembalikan ke Kerajaan Kandy. Dikemudian hari, ternyata Belanda mengingkari kesepakatan yang telah dibuat dan menguasai daerah-daerah tersebut kembali.
Selama menjajah Sri Lanka, Belanda merubah kota Colombo menjadi kota militer, memberlakukan hukum Romawi Belanda, kodifikasi hukum adat Tamil yang disebut Thesavalami, memperluas perbentengan di Galle, memperkenalkan Gereja Reformasi, mengorganisir tata niagarempah-rempah, membangun jalan dan kanal, memperbarui sistem tanam padi dan lain-lain. Terdapat juga kawin campur antara penduduk lokal dan kaum pendatang Belanda menghasilkan masyarakat yang disebut ”Burgher”.
Pada tahun 1976, perkembangan politik di Eropa sesudah Revolusi Perancis membuka kesempatan bagi Inggris untuk meluaskan jajahannya di Asia. Inggris sudah berada di India ketika berminat menguasai Ceylon, hingga pada akhirnya Inggris berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda. Sejak itu, Kerajaan Kandy dikuasai Inggris setelah peperangan selama 25 tahun. Kota Colombo kemudian dijadikan ibukota. Diantara para penjajah yang telah menduduki Sri Lanka, hanya Inggris satu-satunya yang mampu menguasai seluruh wilayah Ceylon. Pada tahun 1818, Inggris memberlakukan sistem pemerintahan terpusat. Suatu kebijakan yang menghapus tata administrasi pemerintahan di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya suku Tamil.
Inggris juga membuka perkebunan teh dengan tenaga suku Tamil yang didatangkan dari India Selatan dengan jumlah sekitar 1 juta jiwa. Munculnya golongan intelektual kelas menengah dan tumbuhya kesadaran nasionalisme serta berkembangnya Buddhisme dan Hinduisme menimbulkan banyak tuntutan agar orang-orang Ceylon dapat ikut serta dalam pemerintahan.
Pada tahun 1947 Ceylon diberi status Dominian (hak berkuasa) dan pada tanggal 4 Februari 1848 Inggris memberikan kemerdekaan kepada Ceylon. Hingga tahun 1972, Ceylon tetap sebagai anggota Persemakmuran. Akan tetapi, pada tahun tersebut Ceylon menyatakan diri sebagai Republik Sri Lanka dan melepaskan ikatannya dari kerajaan Inggris, namun tetap dalam lingkungan Persemakmuran. Sejak diberikannya kemerdekaan oleh kolonial Inggris sampai pada abad ke 20, selalu saja terdapat perbedaan dan tawar menawar dalam hal pembagian kekuasaan antara suku Tamil dan Sinhala.
Pada masa penjajahan Inggris, tokoh-tokoh dan cendekiawan suku Tamil Sri Lanka yang dibawa oleh Inggris untuk bekerja pada perkebunan teh Sri Lanka, banyak diantaranya yang duduk pada posisi penting. Keadaan tersebut menimbulkan kecemburuan dan kebencian suku Sinhala kepada suku Tamil. Sikap itu semakin menonjol ketika diberlakukan sistem pemerintahan demokrasi melalui pemilihan umum, yang selalu dimenangkan oleh suku mayoritas Sinhala.
Pemerintahan nasional pertama yang dibentuk adalah United National Party (UNP) dipimpin oleh Perdana Menteri D.S. Senanayake. Namun pada tahun 1953, salah seorang anggota partai UNP, S.W.R.D. Bandaranaike menyatakan keluar dari partai UNP dan membentuk partai sendiri, Sri Lanka Freedom Party (SLFP). Bandarainake pun menyatakan bahwa apabila sekiranya partai SLFP menang dalam pemilu, maka bahasa Sinhala akan dijadikan satu-satunya bahasa nasional.
Setelah kemenangannya dalam Pemilu, S.W.R.D. Bandarainake mengeluarkan sebuah keputusan sesuai dengan rencananya yaitu ”Sinhala Only Act” yang diresmikan pada tanggal 14 Juni 1956.[57] Keputusan ini menetapkan bahasa resmi yang digunakan hanya bahasa Sinhala dan semua sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Inggris diganti dengan Bahasa Sinhala. Akan tetapi, di daerah-daerah Tamil tetap menggunakan bahasa Tamil, namun di perkantoran menggunakan bahasa Sinhala.
Selain itu, dampak dari peralihan kekuasaan oleh mayoritas suku Sinhala menimbulkan rasa nasionalisme yang berlebihan sehingga tidak jarang berbagai bentuk tekanan dan penindasan dilakukan oleh pemerintah Sinhala terhadap masyarakat Tamil. Bentuk-bentuk tekanan dan penindasan antara lain berupa perlakuan diskriminatif dan hak-hak masyarakat Tamil yang tidak pernah dipenuhi oleh pemerintahan Sinhala, terutama dari segi bahasa, pendidikan dan pekerjaan ataupun hak milik atas tanah yang sifatnya turun-temurun. Selain itu kehidupan agama dan budaya suku Tamil juga cenderung terancam. Pihak pemerintah pun bahkan pernah melakukan pembunuhan secara besar-besaran yang mengarah pada pembasmian masyarakat Tamil dalam jumlah yang besar dan kerusakan terhadap barang-barang milik mereka.
Bentuk diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan lainnya yaitu untuk memperoleh kenaikan gaji dan promosi disertai dengan paksaan bahasa menguasai Sinhala, atau mereka harus melepaskan pekerjaan. Bahkan lebih dari itu, kesempatan untuk bekerja sebagai pegawai pemerintahan sangat kecil kemungkinannya bagi masyarakat Tamil.
Bila ditinjau dari segi pendidikan, bentuk diskriminasi yang dilakukan berupa standarisasi nilai untuk diterima dalam suatu perguruan tinggi. Murid-murid Tamil dituntut untuk memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan murid-murid Sinhala. Murid-murid Sinhala dapat diterima pada suatu perguruan tinggi walaupun nilai mereka lebih rendah. Hal tersebut tentunya menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi para pemuda Tamil, mengingat bahwa walaupun sistem standarisasi telah diterapkan selama periode 5 tahun berturut-turut, murid-murid Tamil mampu memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan murid Sinhala terutama pada bidang-bidang studi yang banyak diminati yaitu, kedokteran dan tehnik.[58]
Diskriminasi yang dirasakan oleh suku Tamil telah menimbulkankekecewaan dan dendam, sehingga menyebabkan terjadinya konflik etnis Sinhala-Tamil yang membuat rekonsiliasi antara dua pihak yang bertikai sangat sulit untuk dilaksanakan, mengingat berbagai bentuk tekanan dan ancaman telah mereka alami secara terus-menerus. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya pergerakan perlawanan Tamil dengan seruan untuk hak penentuan nasib sendiri dan berpisah dari wilayah nasional.
Munculnya organisasi perlawanan Tamil selain karena ketidakadilan juga dipicu oleh perjuangan melalui jalur politik yang tidak pernah berhasil, sehingga pada tahun 70-an muncul organisasi-organisasi pemuda Tamil. Terdapat beberapa organisasi Tamil yang dibentuk untuk memenuhi aspirasi etnis Tamil melalui jalur politik diantaranya Eelam National Liberation Front (ENLF), People’s Liberation Organization of Tamil Eelam (PLOTE), Liberation of Tamil Tigers Eelam (LTTE), Tamil United Liberation Front (TULF), Eelam People’s Revolutionary Liberation (EPRLF), Tamil Eelam Liberatioan Organisation (TELO) dan Eelam Revolutionary Organisation of Students (EROS). Namun, diantara organisasi-organisasi Tamil, LTTE merupakan satu-satunya organisasi pemuda Tamil beraliran keras yang berjuang melalui kekuatan bersenjata guna mencapai Eelam/pemisahan diri dari Sri Lanka.
Konflik bersenjata antara pemerintah dengan kelompok minoritas Tamil berawal dengan terjadinya peristiwa Black July pada tahun 1983. Insiden yang merupakan kerusuhan rasial terbesar bermula dari diserangnya demonstrasi anti Tamil oleh LTTE yang mengakibatkan 16 orang Sinhala tewas. Penyerangan tersebut kemudian segera dibalas oleh etnis Sinhala dengan membunuh lebih dari 3.000 orang Tamil. Sejak peristiwa tersebut, pasukan pemerintah Sri Lanka kemudian dikerahkan ke wilayah Tamil di bagian Utara dan Timur negara pulau tersebut.Pengerahan pasukan pun tidak lantas membuat situasi menjadi lebih baik, adanya pasukan pemerintah di wilayah Tamil justru memicu berbagai aksi kekerasan bersenjata yang terus berlangsung hingga saat ini.
Bentuk-bentuk aspirasi yang selalu diperjuangkan oleh masyarakat Tamil untuk memperoleh kemerdekaan sempat hampir terwujud pada saat kekuasaan pemerintahan yang semula di bawah Presiden J.R. Jayewardane dialihkan kepada Presiden R. Premadasa melalui pemilu.
Pemerintah Presiden R. Premadasa yang bekerjasama dengan LTTE dalam mengusir tentara Indian Peace Keeping Force (IPKF), segera mengadakan reformasi yang menjadikan bahasa Tamil sebagai bahasa resmi dan menganjurkan aparat-aparat pemerintah agar belajar bahasa Tamil. Tentara IPKF merupakan tentara India yang ditempatkan di Provinsi Utara dan Timur Sri Lanka setelah ditandatanganinya ”Indo-Sri Lanka Agreement” oleh Presiden Jayewardane dan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi. Isi perjanjian tersebut diantaranya, menempatkan tentara IPKF di Provinsi Utara dan Timur yang digabung sementara dan sebaliknya militer Sri Lanka masuk barak tanpa campur tangan di kedua propinsi tersebut.
Selain itu, Presiden R. Premadasa juga mengadakan beberapa perundingan damai di Colombo dan Jaffna. Namun, perundingan gagal mencapai suatu kesepakatan kecuali penghentian permusuhan, tanpa gencatan senjata. Perundingan damai terhenti dan pembunuhan politik mulai terjadi termasuk terbunuhnya Presiden R. Premadasa dengan cara bom bunuh diri di tengah keramaian massa pada peringatan hari buruh internasional, tanggal 1 Mei 1993, di pusat kota Colombo. Pemerintahan Presiden R. Premadasa lalu dilanjutkan oleh Perdana Menteri D.B. Wijetunga, yang kemudian diangkat sebagai Presiden Sri Lanka.
Upaya-upaya perundingan lainnya juga telah diupayakan pada masa kepemimpinan berikutnya, namun sama seperti sebelumnya, perundingan-perundingan tersebut juga gagal diimplementasikan. Perundingan-perundingan tersebut diantaranya berupa perundingan damai yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Chandrika Bandarainake Kumaratunga yang gagal mencapai suatu kesepakatan. Pada perundingan tersebut, pihak LTTE merasa tidak puas pada perundingan, hingga menarik diri dan melakukan serangkaian bom bunuh diri disertai dengan penghancuran beberapa kapal Angkatan Laut Sri Lanka di Trincomalee.
Dalam menghadapi situasi tersebut, pemerintah Chandrika disamping melanjutkan pertempuran dengan LTTE, juga menyusun sebuah konsep penyelesaian masalah etnis pada tahun 1998. Pokok konsep tersebut adalah pendelegasian sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya Provinsi Utara dan Timur, dengan mengganti ”Unitary State” menjadi ”Union of Region”. Konsep penyelesaian itu tidak diajukan kepada LTTE, karena tidak memungkinkan akibat suasana perang, namun diajukan ke Parlemen untuk memperoleh pengesahan. Timbulnya aksi protes menentang konsep tersebut khususnya dari partai oposisi yaitu United National Party (UNP) kemudian membuat pemerintah Presiden Chandrika menghentikan proses penyelesaian masalah etnis melalui draft tersebut.
Pada tahun 2001 kembali dilakukan upaya perdamaian melalui gencatan senjata yang ditawarkan LTTE dan disetujui oleh pemerintahan PM Ranil Wickremasinghe. Pada tanggal 22 Februari 2002 ditandatangani MOU gencatan senjata ditempat yang terpisah oleh PM Ranil Wikremasinghe dan pemimpin LTTE, Vellupillai Prabakharan, melalui fasilitator Norwegia. Setelah itu dibentuk pengawas gencatan senjata Sri Lanka Monitoring Mission (SLMM) yang ditengarai oleh negara-negara Nordik.
Pasca perjanjian gencataan senjata, situasi keamanan di Sri Lanka cukup membaik, rakyat bisa mengunjungi daerah Provinsi Utara dan Timur. Pada gilirannya pertumbuhan ekonomi cukup pesat, didukung oleh kebijakan ekonomi yang terbuka. Perundingan damai pun segera diadakan hingga enam kali. Dalam perundingan tercapai kesepakatan bahwa dasar penyelesaian adalah bentuk pemerintahan ”federal” dan pelaksanaan proyek rehabilitasi Provinsi Utara dan Timur atas biaya bantuan masyarakat internasional, diketuai bersama oleh Norwegia, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada April tahun 2003, LTTE secara tiba-tiba menarik diri dari proses perdamaian dengan alasan kecewa atas pertemuan masyarakat internasional dengan delegasi pemerintah Sri Lanka tanpa mengundang LTTE. Alasan tidak diundangnya LTTE pada delegasi tersebut karena Amerika Serikat telah menggangap organisasi Macan Tamil sebagai organisasi terlarang. Namun demikian , situasi keamanan tetap terkendali. Akan tetapi, LTTE terus berusaha meningkatkan kekuatannya melalui pembangunan prasarana perang, diantaranya pembangunan landasan pesawat udara, hingga diduga telah memiliki tiga pesawat kecil.
Melihat situasi yang demikian, pihak oposisi di bawah pimpinan Presiden Chandrika mulai mengutarakan kekhawatirannya dan menuduh pemerintah terlalu lembut menghadapi LTTE. Kekhawatiran itu semakin meningkat setelah pada bulan Oktober tahun 2003, LTTE mengajukan proposal Interim Self-Governing Authority (IGSA). Draft proposal itu diantaranya berisi ketentuan bahwa LTTE akan memegang pemerintahan sementara Propinsi Utara dan Timur selama kurang lebih 5 tahun, dengan dasar otonomi penuh. Setelah itu akan diadakan pemilihan Dewan Propinsi yang ditentukan oleh LTTE.
Partai oposisi langsung menuduh pemerintah akan menyerahkan Propinsi Utara dan Timur kepada LTTE walaupun pemerintah belum memberikan tanggapan atas kekhawatiran pihak oposisi tersebut. Dengan dasar itu, Presiden Chandrika menggunakan hak prerogatifnya mengambil 3 kementrian, yaitu Pertahanan, Keamanan Dalam Negeri dan Komunikasi Massa, kemudian membubarkan pemerintah pada bulan Januari 2004. Pemilu pun kembali dilaksanakan yang dimenangkan oleh oleh Mahinda Rajapaksa sebagai Perdana Menteri yang baru. Kemenangan Mahinda Rajapaksa sebagai Perdana Menteri didasarkan pada dukungan mayoritas dalam partai United People’s Freedom Alliance (UPFA) yang merupakan gabungan antara partai oposisi dengan partai marxist JVP (Front Pembebasan Rakyat).
Pada tanggal 24 Januari 2005, ditandatangani mekanisme kerjasama dalam sebuah Post Tsunami Oprational Managenent Structure (MOU P-TOMS) antara pemerintah dengan LTTE. Mou tersebut dilaksanakan atas dasar terjadinya bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang menimpa pantai selatan dan timur Sri Lanka, termasuk daerah kekuasaan LTTE. Atas bencana itu, masyarakat internasional mendesak agar diadakan mekanisme kerjasama antara pemerintah dan LTTE dalam pelaksanaan rehabilitasi tsunami. Adanya mekanisme tersebut juga diharapkan akan menjadi landasan kerjasama dalam mencari konsep penyelesaian masalah etnis dimasa yang akan datang.
P-TOMS pun ditentang oleh berbagai pihak, diantaranya partal JVP dan elemen radikal suku Sinhala yang digalang oleh organisasi biksu Budha sehingga tidak pernah dapat diimplementasikan. Disamping pertentangan tersebut, partai oposisi United National Party (UNP) terus melancarkan aksi-aksi demonstrasi damai menuntut dilaksanakannya Pemilu Presiden lebih cepat dari yang telah ditetapkan. Tuntutan tersebut mendapat dukungan dari partai JVP yang telah bekerjasama dengan pendukung-pendukung PM Mahinda Rajapaksa, sebagai calon Presiden dari partai rejim UPFA.
Pemilu yang dilaksanakan lebih awal dimenangkan oleh Mahinda Rajapaksa sebagai presiden. Kemenangan itu terutama didukung oleh elemen radikal Sinhala yang menginginkan operasi militer menghancurkan LTTE dan menentang keras penyelesaian secara damai dengan LTTE. Menurut mereka, penyelesaian hars didalam kerangka negara kesatuan Sri Lanka, seperti yang tercantum dalam manifesto pemilu ”Mahinda Chintana”(visi Mahinda Rajapaksa).
Presiden Rajapaksa dalam mengawali pemerintahannya langsung mengajak LTTE untuk mencari solusi secara damai. Namun LTTE justru mulai melakukan pembunuhan terhadap personil militer Sri Lanka. Akan tetapi, atas upaya fasilitator Norwegia, perundingan berhasil diadakan di Jenewa pada tanggal 22-23 Februari 2006, yang sepakat menghentikan permusuhan dan melanjutkan perundingan.
Adanya upaya-upaya perundingan tidak membuat LTTE menghentikan aksi terornya. Serangan bom bunuh diri pun ditujukan terhadap KSAD Sri Lanka, di dalam Mabes AD Sri Lanka. Atas kejadian itu, militer Asri Lanka mulai memborbardir wilayah-wilayah kekuatan LTTE di Propinsi Utara dan Timur, sehingga terjadi kembali peperangan walaupun MOU gencatan senjata tidak pernah dinyatakan batal oleh salah satu pihak. Sementara pertempuran selalu terjadi, pemerintah tetap mengajak untuk mencari penyelesaian melalui negosiasi dalam perundingan damai di Jenewa namun, perundingan damai itu kembali gagal mencapai suatu titik temu.Hal tersebut diakibatkan tidak adanya kesepaktan diantara para pihak.
Pada saat pemerintah Sri Lanka terus mencari jalan dan mengajak LTTE untuk dapat memenuhi kembali perundingan damai, di sisi lain pemerintah juag melkukan serangan dengan memborbardir tempat-tempat Propinsi Utara dan Timur yang sudah diidentifikasi sebagai kantung kekuatan LTTE dan merebut daerah pangkalan LTTE dalam rangka mengatasi terorisme LTTE. Denga tujuan tersebut, pemerintah Sri Lanka terus meminta bantuan masyarakat internasional agar menekan dan mendesak LTTE agar menempuh jalan perdamaian, dengan menghentikan jalan kekerasan dan teror. Pemerintah Sri Lanka pun tetap pada komitmen untuk mencari penyelesaian masalah etnis melalui negosiasi damai.
Sementara itu, LTTE tetap pada pendiriannya untuk menuntut dan memperjuangkan otonomi penuh bagi pemerintah daerah Propinsi Utara dan Timur seperti yang tertuang dalam draft Interim Self-Governing Authority (ISGA) yang mereka ajukan. Namun, draft tersebut ditentang keras oleh elemen aliran keras suku Sinhala dan juga ditolak oleh pemerintah Sri Lanka. Selama tuntutan yang diajukan tidak dapat diakomodasi oleh pemerintah Sri Lanka, LTTE menyatakan tidak akan menghentikan aksi-aksi teror yang menurut LTTE sebagai sikap perjuangannya untuk mencapai pemerintahan Tamil sendiri.
Dalam menghadapi kelompok garis keras Tamil, operasi militer Sri Lanka telah berhasil merebut beberapa daerah LTTE. Namun, LTTE juga mampu merebut daerah lainnya untuk mendirikan pangkalan yang baru.
Adapun, kekuatan utama LTTE dalam mempertahankan diri terutama berasal dari suku Tamil Diaspora yang telah diperkirakan jutaan orang . Mereka dengan rela dan juaga secara paksa memberikan kontribusi bagi perjuangan LTTE, karena LTTE merupakan kekuatan tawar-menawar dengan pemerintah Sri Lanka.
Pada tanggal 2 Januari 2008, pemerintah Sri Lanka menyampaikan secara resmi menarik diri dari perjanjian gencatan senjata dengan kelompok Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) yang ditandatangani pada Februari 2002. Dengan adanya pernyataan Pemerintah Sri Lanka untuk menarik diri dari perjanjian gencatan senjata dengan LTTE, kegiatan tim Sri Lanka Monitoring Mission (SLMM) yang beranggotakan personil dari negara-negara Nordik juga berakhir. Keputusan Pemerintah Sri Lanka tersebut sangat disesalkan oleh berbagai kalangan terutama oleh seluruh Menlu Nordik.
Dengan kegagalan upaya perundingan yang telah diupayakan oleh berbagai pihak, menandakan bahwa konflik di Sri Lanka masih terus berlangsung dan perdamaian harus terus diwujudkan sehingga dibutuhkan model penyelesaian yang kiranya dapat dijadikan acuan bagi proses perdamaian di Sri lanka.

B. LATAR BELAKANG KONFLIK DI ACEH DAN PENYELESAIANNYA
Konflik yang pernah terjadi di Aceh merupakan salah satu bentuk dari konflik internal. Konflik tersebut terjadi antara pihak pemerintah dengan rakyat Aceh yang merasa dikecewakan. Pemicunya didorong oleh kekecewaan akibat kepentingan individu atau kelompok yang tidak terpenuhi.[59] Kekecewaan yang berkepanjangan di Aceh telah memunculkan ketidakpercayaan yang memuncak terhadap Pemerintah. Masalahnya pun semakin berat karena selama hampir 30 tahun berkonflik, tidak ada upaya yang signifikan untuk membangun rasa saling percaya diantara para pihak yang bertikai. [60]
Pada dasarnya faktor penyebab terjadinya konflik di Aceh diakibatkan oleh beberapa sebab, diantaranya faktor historis, faktor ketidakadilan ekonomi dan faktor ketidakadilan hak asasi manusia.[61] Namun, akar permasalahan yang paling utama disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi. Rakyat Aceh sangat kecewa akan pembagian kekayaan alam daerah itu. Hasil bumi mereka sebagian besar tidak mereka nikmati, tetapi mengalir kedaerah lain, dan terutama ke Pusat.[62] Alasan tersebutlah yang kemudian membuat rakyat Aceh merasa diperlakukan secara tidak adil, sehingga muncul organisasi separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Faktor historis yang menyebabkan terjadinya konflik salah satunya adalah upaya Pemerintah Pusat dengan memasukkan Aceh sebagai bagian dari kesatuan wilayah Sumatra Utara, sedangkan di sisi lain mereka menginginkan diberikannya propinsi sendiri. Alasan yang dikemukakan yaitu Aceh telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia.[63] Sedangkan faktor ketidakadilan ekonomi berupa penemuan sumber gas alam yang ternyata dapat memberikan keuntungan bagi perkembangan perekonomian Aceh. Kekayaan alam tersebut ternyata oleh pemerintah Orde Baru digunakan sebagai ladang eksploitasi untuk memperoleh devisa negara dengan hanya mengembalikan sangat sedikit kepada rakyat Aceh. Hal ini terbukti antara tahun 1993-1999 Aceh dikategorikan sebagai salah satu daerah terbelakang,[64] padahal menurut data Bank Dunia, Aceh selama beberapa tahun termasuk sebagai salah satu daerah ke-4 terkaya di Indonesia.[65] Selain sumber gas alam, sumber perekonomian Aceh juga sebenarnya dapat diperoleh dari hasil perkebunan, pembalakan kayu, pertambangan dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri dimana kesemuanya sempat berkembangbiak di Aceh.[66] Bentuk ketidakadilan lainnya yaitu mengenai tenaga kerja asal Aceh yang diperlakukan secara diskriminatif dengan memberikan pekerjaan yang kurang sesuai dengan upah rendah.[67] Hal tersebut selain merupakan bentuk ketidakadilan di bidang ekonomi, juga merupakan ketidakaadilan hak asasi manusia. Rakyat Aceh merasa tidak menikmati dan mendapat keuntungan akan perkembangan di tanah kelahirannnya sendiri. Sebaliknya, segala bentuk pembangunan dan perkembangan Aceh justru dikuasai oleh Pemerintah Pusat maupun warga pendatang. Alasan-alasan tersebut yang kemudian membuat rakyat Aceh kecewa, sehingga muncul organisasi separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
GAM merupakan organisasi separatis Aceh yang didirikan atas dasar kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh. Didirikan pada tahun 1976 oleh Hasan di Tiro yang merupakan keturunan dari pejuang revolusioner Teungku Cik di Tiro. Selain atas dasar ketidakadilan, GAM didirikan untuk memperjuangkan kedaulatan Aceh yang belum sempat dicapai oleh para leluhurnya.[68] Pada awalnya GAM masih merupakan gerakan kecil yang terdiri dari beberapa kolega dari Hasan di Tiro, kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai insinyur, dokter, pengusaha dan profesor. Selain itu, mereka yang tergabung dalam GAM berasal dari suku Aceh yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga di Tiro. [69]
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh GAM diantaranya berupa pengibaran bendera GAM, melancarkan propaganda melawan pemerintah Indonesia dan tidak jarang juga mereka melakukan berbagai serangan militer.[70] Namun, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan jumlah personil dan kapasitas persenjataan yang memadai dapat menumpas dan menangkap para gerilya dan sebagian pemimpin GAM. Para pemberontak yang tidak terbunuh ataupun tertangkap dimasukkan ke dalam penjara.[71] Di sisi lain, beberapa pemimpin GAM yang tidak tertangkap termasuk Hasan di Tiro melarikan diri ke Eropa, Malaysia dan Singapura.[72]
Pada saat berada di luar negeri, para pemimpin kader-kader GAM tetap melakukan gerakan bawah tanah sampai terjadi reinkarnasi GAM pada tahun 1989. Reinkarnasi GAM terjadi setelah beberapa dari para kadernya mendapatkan pendidikan perang gerilya dari Libya dan kembali ke Aceh untuk melanjutkan perjuangannya. Pada saat itu pun para gerilyawan lebih siap dalam menghadapi para angkatan bersenjata Indonesia. Sejak itulah GAM mempunyai sayap militer dengan persenjataan dan strategi perang gerilya.[73] Keadaan semakin memburuk setelah diketahui banyak yang menjadi korban akibat dari konflik antara GAM dan aparat pemerintah, baik dari warga sipil maupun pihak militer.
Melihat kondisi Aceh yang tidak kunjung membaik, pada tahun 1989 sampai 1998, Pemerintah Orde Baru bereaksi dengan menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Penetapan tersebut sekaligus merupakan awal dari penderitaan rakyat Aceh. Sekitar 12.000 tentara ditempatkan di Aceh. Sehingga, penempatan tentara Indonesia tidak sepadan dengan jumlah para pemberontak di lapangan.[74] Di satu sisi GAM meneror rakyat Aceh untuk mendapatkan dana perjuangan mereka (yang lebih dikenal dengan pajak Nanggroe) dengan berbagi cara, mulai dari intimidasi, perampokan, penculikan, penyiksaan, sampai pembunuhan anggota keluarganya. Di sisi lain, ABRI menghalangi rakyat agar tidak menjadi kader, simpatisan ataupun anggota GAM dengan cara yang tidak jauh berbeda. Pada masa inilah jatuh korban terbanyak, diperkirakan mencapai 12-15 orang baik pihak GAM, anggotan ABRI maupun rakyat sipil.[75]
Setelah Presiden Soeharto turun, dimulailah era perundingan damai dengan GAM untuk mengakhiri konflik di Aceh. Presiden Habibie memulainya dengan penghapusan DOM yang tidak berlangsung lama karena tidak diikuti penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara penuh dari Aceh.[76] Namun, situasi yang ada justru diperparah dengan kenyataan bahwa tentara-tentara Indonesia belum siap untuk ditarik dari Aceh. Kerusuhan pada akhir Agustus tahun 1998 di Lhoksemauwe yang berlangsung selama 2 hari sejak tentara Indonesia ditarik, menyebabkan beberapa pasukan tempur ditempatkan kembali di Aceh. Sebagai akibatnya pada Januari tahun 1999, diberlakukan operasi militer baru di Aceh yang dinamakan dengan Operasi Wibawa dimana ditempatkan sekitar 2.000 personil Anti Kerusuhan yang terdiri atas personil militer dan polisi dengan tujuan untuk mengamankan Aceh.[77]
Pada saat beralihnya masa kepemimpinan yakni Presiden Abdurahman Wahid, ia melanjutkan upaya penyelesaian konflik di Aceh dengan menugaskan Dubes RI diJenewa, Dr. Hassan Wirajuda, untuk melakukan kontak dengan pimpinan GAM di luar negeri. Usaha ini menghasilkan gencatan senjata yang dikenal dengan Joint Understanding for Humanitarian Pause pada Mei 2000. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena kekerasan bersenjata kembali meningkat di Aceh pada tahun 2001. Pemerintah RI pada saat itu mengutamakan dialog dengan pimpinan GAM di luar negeri namun tetap menekan secara militer anggota militer GAM di Aceh[78].
Pemerintah RI yang selanjutnya di bawah kepemimpinan Presiden Megawati dan Pimpinan GAM berunding dengan memfasilitasi Henry Dunant Center (HDC), Jenewa dan berhasil menyepakati Cessation of Hostilities Agreement (COHA) pada tanggal 9 Desember 2002. Namun COHA gagal dalam implementasinya setelah pada Mei 2003, terutama karena GAM menolak syarat-syarat yang diajukan Pemerintah RI untuk menyerahkan senjata, menerima negara Kesatuan RI dan otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini memperburuk kondisi di lapangan yang kemudian ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer[79].
Belajar dari kegagalan COHA, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perundingan berikutnya dengan GAM. Melalui Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari. Perundingan dilaksanakan segera setelah bencana Tsunami yang menyapu sebagian besar daerah Aceh dan menelan korban jiwa dan harta yang sangat besar pada akhir tahun 2004. GAM juga menyadari bahwa penderitaan rakyat Aceh semakin berat dengan adanya bencana ini. Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil inisiatif pada waktu yang teoat untuk mendekati GAM kembali[80].
Setelah melewati berbagai proses dengan 5 ronde perundingan selama 7 bulan, perundingan berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Helsinki pada tanggal15 Agustus 2005 yang menandai berakhirnya konflik bersenjata selama 30 tahun lebih di Aceh. Perundingan kali ini dapat berhasil karena beberapa faktor penunjang seperti :
1. Fakta bahwa kekuatan militer GAM di lapangan semakin lemah dan terpojok;
2. Terjadinya bencana Tsunami;
3. Kemampuan diplomasi Indonesia dalam menyakinkan negara-negara Barat yang selama ini mendukung kedaulatan RI, namun selalu mengkritik Indonesia atas pelanggaran HAM di Aceh, untuk menekan GAM agar menerima konsep otonomi khusus.penyelesaian masalah Aceh melalui pendekatan politik (pemberian otonomi khusus terutama kebebasan penerapan hukum syariah), ekonomi (pengembalian 70% hasil bumi dan tambang Aceh untuk masyarakat Aceh) dan hukum (penyelesaian UU Pemerintah Daerah dengan isi Perjanjian Helsinki).
Walaupun Perjanjian Helsinki merupakan langkah awal untuk mewujudkan perdamaian menyeluruh di Aceh, keberhasilan Pemerintah RI ini telah mendapatkan pujian dari banyak pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pernyataannya pada Simposium Internasional tentang Juru Runding Pemerintah untuk Perdamaian di Madrid, menyebutkan bahwa tiga dasar yang menjadi acuan penyelesaian adalah solusi politik, ekonomi dan sosial. Solusi politik adalah dibuatnya undang-undang baru sedangkan solusi ekonomi berupa pemberian hasil-hasil sumber daya alam untuk digunakan Aceh sendiri secara optimal sebab lahirnya konflik bahkan tuntutan merdeka di Aceh karena adanya ketidakadilan di bidang ekonomi antara provinsi tersebut dan pemerintah pusat. Adapun solusi sosial adalah adanya skema reintegrasi sehinggan mereka yang semula menuntut merdeka bisa kembali ke masyarakat.[81]
Wakil presiden Jusuf Kalla juga menjelaskan bahwa negosiasi dengan gerakan separatis, memiliki beberapa langkah sebagai berikut:[82]
1. Memahami sejarah dan budaya konflik daerah tersebut serta
watak dan karakter para pemimpin pihak lawan;
2. Mempersiapkan materi perundingan yang harus disepakati kedua belah pihak;
3. Diperlukan adanya tekanan internasional yang diperoleh melalui diplomasi dan pendekatan kepada negara sahabat;
4. Jadwal perundingan yang pasti;
5. Diperlukan mediator yang obyektif dan dipercaya kedua belah
pihak;
6. Perundingan harus tertutup;
7. Harus dicapai kesepakatan yang bermartabat;
8. Implementasi hasil perundingan dengan rencana yang jelas.
Mengenai penyelesaian konflik di Aceh, Presiden dan Wapres RI memahami hal yang paling dasar yaitu memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Cara ini dilakukan terutama pada saat penanganan korban dan penyaluran bantuan pasca Tsunami. Selain itu diperlukan keinginan politis dan komitmen yang kuat dari para pemimpin kedua belah pihak untuk berdamai. Perundingan damai harus selalu dikedepankan setelah dibuktikan bahwa pendekatan militer tidak pernah dapat menyelesaiakan konflik di mana pun. Hal ini ditambah lagi dengan 4 elemen yang merupakan kunci solusi permanen untuk Aceh yaitu adanya kompromi di lapangan dan pemenuhan janji yang merupakan komponen paling vital dari perundingan yang berhasil.

C. Perbandingan Konflik di Aceh dan di Sri Lanka
Jika dibandingkan antara konflik di Aceh dan Sri Lanka, keduanya memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik dan dinamika yang cukup signifikan. Metode yang dinilai berhasil mengatasi konflik di Aceh tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan atas konflik di Sri Lanka ataupun negara-negara lain.
Dalam mengamati karakteristik GAM dan LTTE, Dr. Kingsbury, seorang pakar politik dari Australia, menyebutkan beberapa persamaan antara lain[83]:
1. Keduanya merupakan warisan dari post colonial unitary state yang tidak selesai, dan dalam dinamikanya menjadi bola salju yang semakin sulit diselesaikan.
2. Sama-sama memiliki identitas nasional yang merupakan dasar perjuangan menuntut berdirinya negara sendiri.
3. Keduanya menghadapai konflik yang amat sulit dan terus menerus.
4. Sama-sama menghadapi military stalemate (militer tetap ingin menumpas mereka dengan senjata yang menyebebkan macetnya proses perdamaian).
Selain itu terdapat beberapa hal mendasar yang membedakan perjuangan GAM dan LTTE, yaitu:[84]
1. Perjuangan GAM diilhami agama Islam, beraliran moderat dari sisi politik dan secara rresmi tidak digolongkan sebagai kelompok teroris (walaupun Indonesia memandang GAM senagai kelompok teroris tetapi dunia internasional tidak sependapat). Sedangakan perjuangan LTTE bersifat revolusioner dan didefinisikan sebagai kelompok teroris oleh Pemerintah Sri Lanka dan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Eropa.
2. GAM memiliki kapasitas militer sebagai kelompok gerilya dengan jumlah senjata yang tidak sebanding dengan jumlah anggotanya sedangkan LTTE memiliki kapasitas militer konvensional yang lengkap. Hal ini dapat dilihat antara lain dari kemampuan dan peralatan tempur sayap militernya serta adanya pangkalan AL DAN AU tersendiri.
3. Walaupun memiliki struktur pemerintahan, GAM tidak memiliki kapasitas fungsional yang utuh sebagai negara. GAM memiliki pimpinan politik di luar negeri dan sayap militer (Tentara Negara Aceh dengan kemampuan dan peralatan jauh tidak seimbang dibandingkan TNI AD) di dalam negeri. Sedangkan LTTE adalah negara dalam negara karena memiliki berbagai struktur Lembaga Administrasi Sipil yang cukup lengkap di wilayah yang dikuasainya seperti sistem pendidikan, sistem lalu lintas, polisi, pengadilan, jawatan pos, bank, kantor administrasi, rumah sakit, stasiun TV dan radio. Dari berbagai lembaga tersebut, yang paling penting adalah ’Tamil Eelam Judiciary’ dan ’Tamil Eelam Police’ yang bermarkas di Kilinochchi dan memiliki beberapa sayap yakni polisi lalu lintas, pencegahan kejahatan, deteksi kriminal, biro informasi, administrasi dan special force. LTTE memiliki struktur pemerintahan berupa Central Governing Committee, sayap iliter (AL, AU, AD, pasukan elit, komando bunuh diri, pasukan wanita dan anak-anak) dan sayap politik (unit intelijen, penasehat politik dan ideologi) yang semuanya ada di wilayah Sri Lanka.
4. Pimpinan GAM yang tinggal di luar negeri dianggap memiliki pendidikan dan wawasan internasional yang baik sehingga terbuka untuk berdialog secara komprehensif. Selain itu, wawasan internasioal membuat para pimpinan GAM bersikap fleksibel yang juga tercermin dari sikap moderatnya. Ideologi GAM sendiri dapat dikatakan memiliki evolusi yang menyesuaikan pada keadaan zaman seperti tuntutan merdeka yang berubah menjadi pemerintahan otonomi yang diperluas. Sedangkan Pimpinan LTTE tinggal di hutan-hutan Sri Lanka sehingga sulit untuk diberikan pencerahan untuk mengedepankan dialog dan hanya sedikit yang memiliki pendidikan tinggi dan mampu berbahasa asing.
5. Keberhasilan operasi militer LTTE didukung oleh beberapa faktor berikut yang tidak atau hanya sebagian kecil dimiliki oleh GAM:
a. Publisitas: LTTE memiliki jaringan publisitas dan propaganda di sedikitnya 54 negara dengan kantor utama di negara-negara Barat yang memiliki komunitas Tamil dalam jumlah besar seperti Inggris, Perancis, Jerman,Swiss, Kanada dan Australia. Mereka juga memiliki kantor perwakilan di Kamboja, Myanmar, Afrika Selatan dan Botswana. Jaringan publisitasnya termasuk radio dan TV satelit meliputi Eropa, Australia, dan Amerika Utara. Selain itu, LTTE menggunakan internet secara ekstensif untuk menyebarkan propaganda kepada diaspora Tamil.
b. Sumber Dana: Sumber finansial LTTE berasal dari diaspora Tamil yang jumlahnya kurang lebih 1 juta orang. Mereka sebagian besar adalah profesional seperti dokter, akuntan atau insinyur dan tersebar di 54 negara termasuk Kanada, Inggris, AS, Australia, sekitar 25 negara anggota UE, Malaysi, Singapura, Indonesia, Myanmar, bahkan Afrika Selatan.
Berdasarkan penelitian Rand Corporation, dana yang diperoleh dari diaspora diperkirakan mencapai US$ 50 juta per tahun dan digunakan untuk pembiayaan 90-95% angkatan perang LTTE. Jumlah jaringan pendanaan LTTE relatif sudah tersebar ke seluruh dunia. Markar internasionalnya berada di London dan kantor-kantor lainnya terdapat di Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Swiss, Italia, Swedia, Denmark, Norwegia, Australia dan Afrika Selatan. LTTE juga menggalang dana dari penjualan narkoba di Asia Tenggara dan Asia Barat. Jaringan internasional perdagangan narkoba LTTE juga dimanfaatkan sebagai jalur penyelundupan senjata khususnya di wilayah Myanmar, Thailand, Kamboja, China, Afghanistan dan Pakistan.
Sedangkan GAM memperoleh dana yang sangat terbatas dari sebagian kecil pendukungnya di luar negeri, selain memungut pajak Nanggroe, merompak kapal dan upaya kriminal lainnya.
c. Pengadaan perlengkapan militer: Persenjataan dibeli terutama dari wilayah yang pernah atau sedang bergolak seperti Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand Selatan dan juga Filipina. Jalur pengapalannya melalui Jepang, Thailand, Indonesia, Singapura, Afrika Selatan, Myanmar, Turki, Perancis, Italia dan Ukraina. Di samping membeli senjata dari pasar gelap di luar negeri, LTTE juga memiliki galangan kapal yang dapat memproduksi berbagai jenis kapal, termasuk kapal selam mini.
GAM memperoleh senjata dari pasar gelap terutama dari beberapa daerah konflik di Asia terutama Kamboja dan Thailand. Selain itu GAM juga memiliki koneksi dengan Libya yang memberikan pelatihan kemiliteran dan taktik perang gerilya.




















BAB IV
ANALISIS MENGENAI PERBANDINGAN DAN PENYELESAIAN
PERSELISIHAN DI SRI LANKA DENGAN MENGGUNAKAN
MODEL PENYELESAIAN DI ACEH


A. Perbandingan Konflik di Aceh dan di Sri Lanka
Jika dibandingkan antara konflik di Aceh dan Sri Lanka, keduanya memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik dan dinamika yang cukup signifikan. Metode yang dinilai berhasil mengatasi konflik di Aceh tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan atas konflik di Sri Lanka ataupun negara-negara lain.
Dalam mengamati karakteristik GAM dan LTTE, Dr. Kingsbury, seorang pakar politik dari Australia, menyebutkan beberapa persamaan antara lain:[85]
1. Keduanya merupakan warisan dari post colonial unitary state yang tidak selesai, dan dalam dinamikanya menjadi bola salju yang semakin sulit diselesaikan.
2. Sama-sama memiliki identitas nasional yang merupakan dasar perjuangan menuntut berdirinya negara sendiri.
3. Keduanya menghadapai konflik yang amat sulit dan terus menerus.
4. Sama-sama menghadapi military stalemate (militer tetap ingin menumpas mereka dengan senjata yang menyebebkan macetnya proses perdamaian).
Selain itu terdapat beberapa hal mendasar yang membedakan perjuangan GAM dan LTTE, yaitu:[86]
1. Perjuangan GAM diilhami agama Islam, beraliran moderat dari sisi politik dan secara rresmi tidak digolongkan sebagai kelompok teroris (walaupun Indonesia memandang GAM senagai kelompok teroris tetapi dunia internasional tidak sependapat). Sedangakan perjuangan LTTE bersifat revolusioner dan didefinisikan sebagai kelompok teroris oleh Pemerintah Sri Lanka dan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Eropa.
2. GAM memiliki kapasitas militer sebagai kelompok gerilya dengan jumlah senjata yang tidak sebanding dengan jumlah anggotanya sedangkan LTTE memiliki kapasitas militer konvensional yang lengkap. Hal ini dapat dilihat antara lain dari kemampuan dan peralatan tempur sayap militernya serta adanya pangkalan AL DAN AU tersendiri.
3. Walaupun memiliki struktur pemerintahan, GAM tidak memiliki kapasitas fungsional yang utuh sebagai negara. GAM memiliki pimpinan politik di luar negeri dan sayap militer (Tentara Negara Aceh dengan kemampuan dan peralatan jauh tidak seimbang dibandingkan TNI AD) di dalam negeri. Sedangkan LTTE adalah negara dalam negara karena memiliki berbagai struktur Lembaga Administrasi Sipil yang cukup lengkap di wilayah yang dikuasainya seperti sistem pendidikan, sistem lalu lintas, polisi, pengadilan, jawatan pos, bank, kantor administrasi, rumah sakit, stasiun TV dan radio. Dari berbagai lembaga tersebut, yang paling penting adalah ’Tamil Eelam Judiciary’ dan ’Tamil Eelam Police’ yang bermarkas di Kilinochchi dan memiliki beberapa sayap yakni polisi lalu lintas, pencegahan kejahatan, deteksi kriminal, biro informasi, administrasi dan special force. LTTE memiliki struktur pemerintahan berupa Central Governing Committee, sayap iliter (AL, AU, AD, pasukan elit, komando bunuh diri, pasukan wanita dan anak-anak) dan sayap politik (unit intelijen, penasehat politik dan ideologi) yang semuanya ada di wilayah Sri Lanka.
4. Pimpinan GAM yang tinggal di luar negeri dianggap memiliki pendidikan dan wawasan internasional yang baik sehingga terbuka untuk berdialog secara komprehensif. Selain itu, wawasan internasioal membuat para pimpinan GAM bersikap fleksibel yang juga tercermin dari sikap moderatnya. Ideologi GAM sendiri dapat dikatakan memiliki evolusi yang menyesuaikan pada keadaan zaman seperti tuntutan merdeka yang berubah menjadi pemerintahan otonomi yang diperluas. Sedangkan Pimpinan LTTE tinggal di hutan-hutan Sri Lanka sehingga sulit untuk diberikan pencerahan untuk mengedepankan dialog dan hanya sedikit yang memiliki pendidikan tinggi dan mampu berbahasa asing.
5. Keberhasilan operasi militer LTTE didukung oleh beberapa faktor berikut yang tidak atau hanya sebagian kecil dimiliki oleh GAM:
a. Publisitas: LTTE memiliki jaringan publisitas dan propaganda di sedikitnya 54 negara dengan kantor utama di negara-negara Barat yang memiliki komunitas Tamil dalam jumlah besar seperti Inggris, Perancis, Jerman,Swiss, Kanada dan Australia. Mereka juga memiliki kantor perwakilan di Kamboja, Myanmar, Afrika Selatan dan Botswana. Jaringan publisitasnya termasuk radio dan TV satelit meliputi Eropa, Australia, dan Amerika Utara. Selain itu, LTTE menggunakan internet secara ekstensif untuk menyebarkan propaganda kepada diaspora Tamil.
b. Sumber Dana: Sumber finansial LTTE berasal dari diaspora Tamil yang jumlahnya kurang lebih 1 juta orang. Mereka sebagian besar adalah profesional seperti dokter, akuntan atau insinyur dan tersebar di 54 negara termasuk Kanada, Inggris, AS, Australia, sekitar 25 negara anggota UE, Malaysia, Singapura, Indonesia, Myanmar, bahkan Afrika Selatan.
Berdasarkan penelitian Rand Corporation, dana yang diperoleh dari diaspora diperkirakan mencapai US$ 50 juta per tahun dan digunakan untuk pembiayaan 90-95% angkatan perang LTTE. Jumlah jaringan pendanaan LTTE relatif sudah tersebar ke seluruh dunia. Markar internasionalnya berada di London dan kantor-kantor lainnya terdapat di Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Swiss, Italia, Swedia, Denmark, Norwegia, Australia dan Afrika Selatan. LTTE juga menggalang dana dari penjualan narkoba di Asia Tenggara dan Asia Barat. Jaringan internasional perdagangan narkoba LTTE juga dimanfaatkan sebagai jalur penyelundupan senjata khususnya di wilayah Myanmar, Thailand, Kamboja, China, Afghanistan dan Pakistan.
Sedangkan GAM memperoleh dana yang sangat terbatas dari sebagian kecil pendukungnya di luar negeri, selain memungut pajak Nanggroe, merompak kapal dan upaya kriminal lainnya.
iii. Pengadaan perlengkapan militer: Persenjataan dibeli terutama dari wilayah yang pernah atau sedang bergolak seperti Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand Selatan dan juga Filipina. Jalur pengapalannya melalui Jepang, Thailand, Indonesia, Singapura, Afrika Selatan, Myanmar, Turki, Perancis, Italia dan Ukraina. Di samping membeli senjata dari pasar gelap di luar negeri, LTTE juga memiliki galangan kapal yang dapat memproduksi berbagai jenis kapal, termasuk kapal selam mini.
GAM memperoleh senjata dari pasar gelap terutama dari beberapa daerah konflik di Asia terutama Kamboja dan Thailand. Selain itu GAM juga memiliki koneksi dengan Libya yang memberikan pelatihan kemiliteran dan taktik perang gerilya.








[1] M. Asruchin, “Penerapan Penyelesaian Konflik Model Aceh: Tantangan dan Posibilitas- Perspektif RI terhadap Konflik di Sri Lanka”, ( Makalah yang disampaikan dalam acara Diskusi Sehari “Implementasi Model Aceh Sebagai Posibilitas Terhadap Konflik di Sri Lanka”, yang diselenggarakan oleh Kantor Sekretarian Wakil Presiden dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta, 10 Maret 2007).
[2] Mulyawan Karim, “Kebencian Berbuah Kehancuran” , Kompas, 10 September 2006, hal. 6.
[3] Ibid
[4] M. Asruchin, loc.cit.
[5] Avtar Singh Bhasin, India in Sri Lanka Between Lion and the Tigers, (New Delhi : Manas Publications, 2004), h. 9
[6] Ibid., hal 10
[7] M. Asruchin, Loc.cit.
[8] Ibid., hal 1
[9] Ibid.
[10] Ibid., hal 6
[11] Ibid., hal 1
[12] KGPH. Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya , ed. Kushartoyo BS (Jakarta: Universitas Trisakti, 2002), hal 81
[13] KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, ed. Kushartoyo BS (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal 50
[14] KGPH.Haryomataram, Op.Cit., hal. 21
[15] Ibid
[16] Ibid., hal 62
[17] Ibid., hal 64
[18] Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). hal. 1
[19]Mulyadi, Konflik Sosial Ditinjau Dari Segi Struktur dan Fungsi, (On-Line), tersedia di: http://jurnal-humaniora.ugm.ac.id/karyadetail.php?id=84 (4 Juni 2008).
[20] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz, Internal Conflicts in South Asia, London: Sage Publications, 1996), hal. 164.
[21]Moonis Ahmar, Farhan H. Siddiqi, ed., The Challenges of Conflict Resolution And Security In 21st Century: Problems and Retrospects (Karachi, 2001), hal. 6.
[22] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz, Loc.Cit.
[23] Moonis Ahmar, Farhan H. Siddiqi, ed., Op.Cit.,h. 7
[24] Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, (On-Line), tersedia di: http://id.Wikipedia.org/wiki/Konflik (4 Juni 2008).
[25] Moonis Ahmar, ed., Different Perceptions On Conflict Resolution: Need For An Alternate Approach ( Karachi, 2005 ), hal. 50.
[26] Huala Adolf Op.Cit.,h. 22.
[27] Moonis Ahmar, ed., Op.Cit.h. 57.
[28] Huala Adolf, Op.Cit.,h. 19, mengutip John Collier and Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law (Oxford: Oxford U.P., 1999) hal.20.
[29]Ibid., h.22, mengutip W. Poeggel and E. Oeser, Methods of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed.),International Law: Achievements and Prospects (Dordrecht: Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991) hal. 514.
[30] Ibid
[31] Ibid., h. 20.
[32] Ibid., h. 21.
[33] Kumar Rupesinghe, Khawar Mumtaz., Op. Cit.,h. 173-176
[34] Ibid., h. 173 et seq.
[35] Ibid.
[36] Ibid., h. 176.
[37] Ibid., h. 177 et seq.
[38] Ibid., h. 178 et seq.
[39] Haryomataram, Op.Cit., h. 62
[40] Ibid., h. 64 et seq.
[41] Ibid.
[42] Nils Marius Rekkedal, Pemberontakan dan Kontra Insurgensi, ed. Fadillah Agus (Jakarta, 2006), hal. 24
[43] Ibid.
[44] Ibid., h. 25.
[45] Haryomataram, Op.Cit.,h. 49
[46] Haryomataram, Op.Cit.,h. 21
[47] Ibid
[48] Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. (On-Line), tersedia di http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Hukum_Humaniter_dan_HAM.pdf (2005).
[49] Ibid., h.25 et seq.
[50] Ibid.,h. 17.
[51] Ibid., h.17 et seq.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Ibid., h, 18.
[55] Ibid., h, 24 et seqq
[56] B. Raman, N.Sathiya Moorthy, Kalpana Chittaranjan, ed., Peace Without Process (Jakarta, 2006), hal. 56.
[57] Avtar Singh Bhasin, Op.Cit.,h. 27.
[58] Ibid., h. 46.
[59] Farid Husain, To See The Unseen Kisah di Balik Damai di Aceh, ed. Salim Shahab & E.E. Siadari ( Jakarta, 2007), hal. 5.
[60] Ibid., h. 7.
[61] Ibid., h. 64.
[62] Ibid., h. 7.
[63] Hasjim Djalal, Dini Sari Djalal, Seeking Lasting Peace in Aceh,
(Yogyakarta:Centre for Strategic and International Studies, 2006), hal. 20.
[64] Ibid., h. 23.
[65] Ibid.
[66] Ibid.
[67] Ibid.
[68] Ibid., h.25.
[69] Ibid.
[70] Ibid.
[71] Ibid., h.26.
[72] M. Asruchin, Op.Cit., h. 5.
[73] Ibid.
[74] Hasjim Djalal, Dini Sari Djalal, Loc.cit.
[75] M.Asruchin, Loc.cit.
[76] Ibid.
[77] Hasjim Djalal, Dini Sari Djalal, Op.Cit.,h. 48.
[78] M. Asruchin, Op.Cit.,h. 6.
[79]Ibid.
[80]Ibid.
[81]Ibid.
[82]Ibid.
[83]Ibid., h. 8.
[84]Ibid.
[85]Ibid., h. 8.
[86]Ibid.